Selasa, 15 November 2011

CINTA Antara Taqwa dan Nafsu

Jika benar cinta itu karena Allah, maka biarkanlah cinta itu mengalir mengikuti aliran Allah,karena hakikatnya ia berhulu dari Allah dan berhilir juga hanya kepada Allah,
Ya Allah jika hamba ditakdirkan jatuh cinta,cintakanlah hamba kpd seseorang yg melabuhkan cintanya kpdMu,agar bertambah pula rasa cintaku kepadaMu,,,Amin...
♥ Teruntuk Calon Makmumku yang Telah Tertulis di Lauhul Mahfudz ♥ Duhai Calon Makmumku, Apa kabar engkau disana? Siapapun engkau, Semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan kepadamu, dan semoga kekuatan Iman&Takwa selalu melekat di dalam hatimu, Duhai Calon Makmumku yang telah tertulis di Lauhul Mahfudz.... Aku percaya kau sedang memperbaiki dirimu, dan mempersiapkan ilmu tuk masa depan anak2 kita nantinya. Aku percaya Al-Quran selalu ada dalam hatimu, selalu terucap dari bibirmu dan dzikir slalu melantun menemani langkah-langkah dalam kehidupanmu… Aku pun begitu wahai calon makmumku… Memantaskan diriku tuk menjadi calon imammu, Aku sedang belajar menjaga diri, menjaga pandangan dan hatiku, agar ketika kau memiliki hati ini, hati ini masih utuh sempurna hanya untukmu… Duhai Calon Makmumku, Jika memang kita berjodoh, Allah pasti akan memberikan cinta di dalam hati kita, di dalam hatiku dan di dalam hatimu, Tetapi jika memang kita tidak berjodoh, Yakinlah...Bahwasanya Allah pasti sedang merencanakan yg terbaik untuk HambaNya, Cukup Cinta dalam diam,dari kejauhan, dengan kesederhanaan & dengan penuh keikhlasan. Jika benar cinta itu karena Allah maka biarkanlah cinta itu mengalir mengikuti aliran Allah, karena hakikatnya ia berhulu dari Allah dan berhilir juga hanya kepada Allah. karena hati ini begitu mudah untuk dibolak-balikkan, ku serahkan rasa yg tiada sanggup dijadikan halal itu kepada Maha Yang Maha Memberi dan Memilikinya, biarkan Dia yang mengatur semuanya hingga keindahan itu datang pada waktunya, karena ku ingin menjaga cintaku hanya untuk yang halal, _____________________________________________ "aku belum tentu menikah dengan orang yang aku cintai, tapi aku akan mencintai siapapun yang menikah denganku karena dia adalah kekasih dunia akhirat" (¯`*•.¸♥ ♥¸.•*´¯) Ya Allah...... Bila Hamba menjadi pasangan seseorang Izinkanlah diri hamba menjadi pelindung baginya izinkanlah wajah hamba menjadi kesenangan baginya izinkanlah mata hamba menjadi keteduhan baginya izinkanlah pundak hamba menjadi tempat melepas keresahan baginya izinkanlah setiap perkataan hamba menjadi kesejukan baginya Ya Allah...... Izinkanlah setiap pelukan menjadi jalan untuk lebih mendekat kepadaMu izinkanlah setiap sentuhan menjadi perekat cinta kepadaMu izinkanlah setiap pertemuan menjadikan kami bersyukur kepadaMu Amin...Ya Rabbal 'Alamin... (Indahnya Pacaran Setelah Menikah) ♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥......q relakan engkau angkat imam selainku,karna mungkin kau bukanlah yang tercatat dilauh mahfudz sebagai makmumku

Rabu, 16 Februari 2011

Shalat istikharah yang efektif menurut sunnah Nabi


In 3 - Arungi makna, shalat on 17 Juli 2008 at 01:47 Selama ini, saya lihat ada dua jenis wacana tentang salat istikharah yang mendominasi umat. Pertama, “cara praktis” meminta petunjuk Allah melalui salat istikharah. Kedua, cara salat istikharah “menurut sunnah Nabi”. Namun, keduanya sama-sama mengandung kelemahan.
Pada jenis yang pertama, kesesuaian dengan sunnah Nabi cenderung kurang diperhatikan. Contohnya, sebuah kitab mengajarkan bahwa seusai mengucap doa istikharah, “kocoklah (undilah) keenam lembaran kertas itu dengan tanganmu dan keluarkanlah satu per satu. Jika secara berturut-turut yang keluar adalah tiga lembar kertas yang bertulisan ‘lakukanlah’, maka lakukanlah urusan yang engkau ingin lakukan. ….” Dampaknya, walaupun memperoleh isyarat yang jelas, bisa-bisa kita terjerumus ke lembah bid’ah yang sesat dan menyesatkan.
Sedangkan pada jenis yang kedua, efektivitas (atau kepraktisan) salat istikharah kita sendiri kurang disoroti. Segi-segi lahiriah sunnah Nabi dalam bersalat istikharah diterangkan (khususnya tentang pengucapan doa istikharah), tetapi aspek-aspek batiniah dan akliah pelaku salat (misalnya: bagaimana menghidupkan hati dan mengaktifkan akal untuk menghayati dan memahami doa istikharah) cenderung tidak disinggung sama sekali. Akibatnya, bisa-bisa salat istikharah kita kurang efektif atau bahkan sia-sia belaka.
Oleh karena itu, kita membutuhkan cara salat istikharah yang efektif dan sekaligus sesuai dengan sunnah Nabi. Untuk contoh pembahasan rinci, silakan baca buku Istikharah Cinta.
Untuk penjelasan sekarang, marilah kita simak ciri-ciri istikharah yang sesuai dengan sunnah Nabi sebagaimana diungkapkan oleh Abu Umar Abdullah Al Hammadi, Misteri Shalat Istikharah, Edisi Revisi (Solo: Pustaka Ar Rayyan, 2006), hlm. 27-97:
Istikharah = memohon agar dipalingkan perhatian kepada apa yang dipilih Allah Swt.
Boleh memohon pilihan kepada Allah Swt dalam urusan besar atau pun kecil. Namun, utamakanlah perkara yang lebih penting.
Ketika Zainab mendapat lamaran dari Rasulullah saw melalui Zaid, Zainab menjawab, “Aku tidak akan melakukan apa pun sebelum aku bermusyawarah dengan Tuhanku [dengan istikharah].” (HR Muslim)
Bagi yang berhalangan (misalnya lantaran haid), istikharahnya cukup dengan baca doa istikharah tanpa salat.
Salat istikharah adalah salat sunnah dua rekaat yang dapat dilakukan secara tersendiri atau pun menyatu dengan salat sunnah lain (rawatib, tahiyyatul masjid, dll.). Kalau menyatu, harus ada niat bahwa dengan salat sunnah lain itu hendak dilakukan salat istikharah sekaligus.
Bebas memilih bacaan ayat Qur’an seusai Al-Fatihah. Tidak ada dalil kuat yang mengkhususkan bacaan ayat Qur’an dalam salat istikharah. Yang khusus hanyalah doa istikharah.
Teks doa istikharah:
Allaahumma, innii astakhiiruka bi’ilmika, wa astaqdiruka biqudratik.
Wa as-aluka min fadhlikal ‘azhiimi, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyuub.
Allaahumma, in kunta ta’lamu anna haadzal amra khairul lii fii diinii wa ma’aasyii wa ‘aaqibati amrii, faqdurhu lii, wa yassirhu lii, tsumma baarik lii fiih.
Wa in kunta ta’lamu anna haadzal amra syarrul lii fii diinii wa ma’aasyii wa ‘aaqibati amrii, fashrifhu ‘annii, washrifnii ‘anhu, waqdur liyal khaira haitsu kaana, tsumma radhdhinnii bih.
Terjemah doa istikharah:
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan [yang tepat] kepada Engkau dengan ilmu [yang ada pada]-Mu, dan aku memohon kekuasaan-Mu [untuk menyelesaikan urusanku] dengan kodrat-Mu.
Dan aku memohon kepada-Mu sebagian karunia-Mu yang agung, karena sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedangkan aku tidak berkuasa, dan Engkau Mahatahu sedangkan aku tidak tahu, dan Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib.
Ya Allah, sekiranya Engkau tahu bahwa urusan ini lebih baik untuk diriku, agamaku, dan kehidupanku, serta [lebih baik pula] akibatnya [di dunia dan akhirat], maka takdirkanlah dan mudahkanlah urusan ini bagiku, kemudian berkahilah aku dalam urusan ini.
Dan sekiranya Engkau tahu bahwa urusan ini lebih buruk untuk diriku, agamaku, dan kehidupanku, serta [lebih buruk pula] akibatnya [di dunia dan akhirat], maka jauhkanlah urusan ini dariku, dan jauhkanlah aku dari urusan ini, dan takdirkanlah kebaikan untukku di mana pun, kemudian jadikanlah aku ridha menerimanya.
Doa istikharah itu boleh diucapkan secara hafalan atau pun dari lembaran kertas. Doa itu dapat dibaca di dalam salat atau pun sesudah salat.
Seusai istikharah, kerjakan pilihan sesuai kecenderungan hati sanubari [atau akal sehat]. Tidak perlu menanti mimpi. Bila kurang mantap, lakukan istikharah lagi.

Sunnahkah laki-laki memakai cincin???

Ummu sabit bertanya kepada anda pertanyaan terkahir :
Bolehkah laki-laki memakai perhiasan dengan menggunakan batu mulia dan memakainya menggunakan tasbeh dan sebagainya?

Jawab:

Bagi laki-laki yang telah ada pengharaman atas mereka yaitu emas, mereka tidak boleh memakainya sebagai perhiasan. Oleh karena itu ketika nabi shalallohu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki yang ditangannnya ada cincin emas, maka beliau lepas dan bersabda:

“Apakah salah seorang diantara kalian suka untuk diberikan bara api untuk diletakkan ditangannya?” Dikatakan kepada laki-laki ini : “ambillah cincinmu dan manfaatkanlah!” Maka laki-laki inipun menjawab : “ Demi Allah aku tidak akan mengambil cincin yang telah dilepas oleh Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam”



Ini menunjukkan faedah bahwa terkadang penggunaan metode yang tegas itu adalah hikmah, sehingga tidaklah mesti yang dikatakan hikmah itu harus selalu lemah lembut, terkadang sikap tegas itu bisa menjadi penuh hikmah. Oleh karena itu, dalam kejadian tersebut Nabi Shalallohu ‘alaihi wasallam menggunakan metode yang tegas dan kemudian beliau mengambil cincin itu lalu beliau melemparkannya seraya bersabda:

“Apakah salah seorang diantara kalian suka untuk diberikan bara api untuk diletakkan ditangannya?”

Namun demikian sahabat ini dapat mengambil manfaat dari cara nasehat dan ucapan nabi shalallohu ‘alaihi wasallam dan berbekas pada dirinya sendiri, dimana dia berkata:

“ Demi Allah aku tidak akan mengambil cincin yang telah dilepas oleh Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam”

Jadi jelas bahwa emas itu tidak boleh dipakai untuk laki-laki, tidak boleh bagi laki-laki menggunakan emas secara mutlak.
Adapun perak telah ada berita dari Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau menggunakannya sebagai cincin. Maka tidak apa-apa memakai cincin perak, Namun permasalahannya apakah dengan demikian memakai cincin itu sunnah? Lantas ada yang mengatakan disunnahkan bagi laki-laki menggunakan cincin perak? Atukah itu cuma mubah (boleh)?

Maka yang jelas bagi kita adalah perlu perincian terhadap hukum ini. Apabila dia menggunakan cincin perak itu untuk suatu keperluan, misalnya dia menggunakannya karena dia seorang hakim atau yang diberi tugas sebagai pemberi stempel, sedangkan capnya itu dicincinya, maka ketika kondisi seperti itu memakai cincin perak itu sunnah.
Apabila dia menggunakan cincin perak itu untuk sekedar perhiasan, maka ketika itu hukumnya mubah, tidaklah dikatakan bahwa itu sunnah. Hal itu karena nabi shalallohu ‘alaihi wasallam memakai cincin perak bukan untuk perhiasan melainkan untuk suatu keperluan, dimana mereka berkata :

“wahai rosulullah mereka para penguasa diseluruh dunia itu tidak mau menerima surat kecuali diberi stempel”

Maka beliaupun membuat cincin dan dicetak disitu “Muhammad Rosullah”, “Muhammad” lalu garis, “Rasulullah” lalu garis, dan lafdzul jalalah (Allah) lalu garis. Sebagaimana telah ada riwayat akan hal itu dalam riwayat bukhari, dan hal yang demikian itu juga ada dalam riwayat Bukhari.

Bahwa nabi menjadikan kepala cincin beliau ditelapak tangan bagian dalam, kalaulah beliau hendak menjadikannya sebagai perhiasan, tentu beliau menjadikan kepala cincin itu ditelapak tangannya bagian luar. Namun beliau menjadikan kepala cincin itu ditelapak tangan bagian dalam, hal ini menunjukkan bahwa nabi shalallohu ‘alaihi wasallam memakai cincicn ini karena suatu keperluan.

Maka siapa yang ingin memakainya karena suatu keperluan maka itu sunnah, namun siapa yang ingin memakai cincin itu karena untuk perhiasan maka itu mubah, sekali lagi kita katakan bahwa itu mubah.


Kalau selain emas dan perak maka hukum asalnya adalah halal dan mubah, selama tidak adanya penyerupaan. Misalkan kalau adanya penyerupaan cincin itu adalah cincin khusus orang perempuan atau orang kafir, maka itu dilarang karena adanya penyerupaan. Namun bila tidak ada penyerupaan baik itu bentuknya pena atau tasbeh. Maka dalam hal ini hukum asalnya adalah boleh

(diketik ulang dari video tanya jawab Syaikh Saad al-Ghojlan, Marjan Production,)

NENEK SIHIR

Kalah perang, seorang pangeran diberi kesempatan
setahun oleh musuhnya untuk mencari jawaban atas
pertanyaan: “Apa yang diinginkan perempuan?”
Kalau dalam setahun tidak dapat menjawab pertanyaan
tersebut, sang pangeran akan digantung.
Bertanya kesana-kemari, tak ada satupun jawaban yang
memuaskan. Akhirnya ketika satu tahun hampir lewat, seseorang
memberinya saran untuk bertanya kepada seorang nenek sihir.
Ketika pangeran menemukan si nenek sihir dan menanyakan
pertanyaan tersebut, si nenek sihir mengatakan bahwa ia hanya
akan menjawab jika sahabat pangeran yang bernama Peter mau
mengawininya.
Pangeran tentu saja tidak tega untuk menikahkan sahabatnya
dengan nenek sihir yang selain jelek juga bau. Akan tetapi Peter
yang merasa banyak berhutang budi dan ingin menunjukkan
baktinya, mengatakan bahwa ia sanggup mengawini nenek sihir
tersebut.
Jawaban nenek sihir: Apa yang benar-benar diinginkan
perempuan adalah diberi kebebasan mengatur hidupnya
sendiri.
Jawaban tersebut diterima dan pangeran terbebas dari tiang
gantungan.
Sementara itu Peter dengan berdebar-debar agak takut
memasuki kamar pengantinnya. Ia sangat terperanjat ketika di
atas ranjang terbaring seorang perempuan yang cantik jelita
dan seksi.
“Kamu siapa..?” tanya Peter tak mengerti.
“Karena kamu sangat baik terhadapku, setengah hari aku akan
menjadi nenek sihir dan setengah harinya lagi aku akan
menjelma menjadi putri yang paling cantik. Sekarang, terserah
kamu, mau pilih mana, apakah siang sebagai nenek sihir dan
malam jadi putri atau sebaliknya,” kata perempuan tersebut.
Peter pun bingung. Di satu sisi, ia ingin menunjukkan kepada
semua orang betapa cantiknya istrinya, tapi ia juga takut nanti
ada yang ingin merebutnya. Kalau istrinya menjelma jadi putri
cantik di malam hari, hanya ia yang akan ‘menikmatinya’.
Akhirnya Peter menyerahkan keputusan tersebut kepada sang
putri.
“Kalau begitu aku akan menjelma jadi putri cantik sepanjang
waktu, karena kamu telah memberiku apa yang diinginkan
perempuan, yaitu kebebasan untuk mengatur hidupku sendiri,”
kata sang putri.
Yang diperlukan oleh seorang perempuan adalah kebebasan
untuk mengungkapkan siapakah dirinya.

============================================
Sumber artikel, dari buku:
Sudarmono, Dr.(2010). Mutiara Kalbu Sebening Embun Pagi, 1001 Kisah Sumber Inspirasi. Yogyakarta: Idea Press. Volume 2. Hal. 353-354. ISBN 978-6028-686-938.

mengenal Akhmadiyah

JAI (Jemaat Ahmadiyah —Qadyan— Indonesia) dan GAI (Gerakan Ahmadiyah —Lahore— Indonesia); mereka sama-sama mengimani Tadzkirah (kitab suci Ahmadiyah, yang disebut kumpulan wahyu muqoddas —suci— yang diyakini sebagai wahyu dari Allah kepada Mirza Ghulam Ahmad).

Padahal inti kesesatannya yang sampai mereka dihukumi kafir, karena Mirza Ghulam Ahmad mengaku nabi dan rasul yang mendapatkan wahyu kemudian dikumpulkan dalam bentuk kumpulan wahyu yang dinamai Tadzkirah itu.

Segala kesesatan sampai Mirza Ghulam Ahmad mengaku nabi dan Rasul, bahkan mengaku kedudukannya sebagai anak Allah, atau bahkan MGA itu dari Allah, dan Allah itu dari MGA; semuanya ada di Tadzkirah, dan diyakini oleh Ahmadiyah Qadyan maupun Lahore. Itu adalah kemusyrikan yang nyata.

Ahmadiyah Lahore tidak mau menerima pemahaman bahwa kekhalifahan hanya dipegang oleh anak cucu Mirza Ghulam Ahmad. Maka sejak matinya Nuruddin Bairawi, Ahmadiyah pecah jadi dua, Qadyan dan Lahore. Basyiruddin memimpin JA (Jemaat Ahmadiyah) Qadyan sebagai Khalifah yang kedua menggantikan Nuruddin, sedang Muhammad Ali memimpin AL (Ahmadiyah Lahore).

Dari Basyiruddin dan selanjutnya seakan kekhalifahannya itu adalah kerajaan. Itulah perbedaannya antara Ahmadiyah Qadyan dan Lahore. Sebenarnya sama, hanya beda hal-hal yang seperti tersebut.

Keputusan Muktamar II Mujamma’ al-Fiqh al-Islami (Akademi Fiqih Islam) di Jeddah, Desember 1985 M tentang Aliran Qadiyaniyah, antara lain menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad SAW dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath'i dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.Teks Keputusan tersebut adalah sebagai berikut:


إِنَّ مَاادَّعَاهُ مِيرْزَا غُلاَم أَحْمَد مِنَ النُّبُوَّةِ وّالرِّسَالَةِ وَنُزُوْلِ الْوَحْيِ عَلَيْهِ إِنْكَارٌ صَرِيْحٌ لِمَا ثَبَتَ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ ثُبُوْتًا قَطْعِيًّا يَقِيْنِيًّا مِنْ خَتْمِ الرِّسَالَةِ وَالنُّبُوَّةِ بِسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، وَأَنَّهُ لاَيَنْزِلُ وَحْيٌ عَلَى أَحَدٍ بَعْدَهُ، وَهذِهِ الدَّعْوَى مِنْ مِيرْزَا غُلاَم أَحْمَدَ تَجْعَلُهُ وَسَائِرَ مَنْ يُوَافِقُوْنَهُ عَلَيْهَا مُرْتَدِّيْنَ خَارِجِيْنَ عَنِ اْلإِسْلاَمِ، وَأَمَّا الَّلاهُوْرِيَّةُ فَإِنَّهُمْ كَالْقَادِيَانِيَّةِ فِي الْحُكْمِ عَلَيْهِمْ بِالرِّدَّةِ، بِالرَّغْمِ مِنْ وَصْفِهِمْ مِيرْزَا غُلاَم أَحْمَدَ بِأَنَّهُ ظِلٌّ وِبُرُوْزٌ لِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ.



"Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya secara qath'i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorangpun setelah itu. Keyakinan seperti yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan pegikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran Lahoriyah adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi Muhammad SAW". (Keputusan Mujamma’ al-Fiqh al-Islami —Akademi Fiqih Islam— Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi' al-Tsani 1406 H / 22-28 Desember 1985 M).

Beda Ahmadiyah Qadyan, Ahmadiyah Lahore, dan Islam
Menurut penelitian M Amin Djamaluddin ketua LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam mengenai Ahmadiyah di Indonesia sebagai berikut:

Dari segi keorganisasian, Jemaat Ahmadiyah Indonesia memiliki dua kelompok yang berbeda dengan keyakinan (aqidah) yang berbeda pula. Pertama, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, kelompok ini biasa disebut dengan Ahmadiyah Qadiyan. Kedua, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, biasa disebut Ahmadiyah Lahore.

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Qadiyan)
Kelompok Jemaat ini memiliki keyakinan bahwa:

1. Mirza Ghulam Ahmad a.s itu seorang nabi dan rasul.

2. Mirza Ghulam Ahmad a.s menerima wahyu.

3. Wahyu-wahyu tersebut diturunkan kepada Nabi Mirza Ghulam Ahmad di India.

4. Menurut buku putih mereka, wahyu-wahyu tersebut ditulis Nabi Mirza dan terpencar dalam delapan puluh enam buku (Buku Putih, Kami Orang Islam, PB JAI, 1983, hal. 140-141).

5. Wahyu-wahyu yang terpencar itu kemudian dikumpulkan menjadi sebuah buku bernama: Tadzkirah ya’ni wahyul muqoddas (Tadzkirah adalah: kumpulan wahyu-wahyu suci/sebuah kitab suci yaitu kitab suci Tadzkirah).

6. Mereka mempunyai kapling kuburan surga di Qadiyan (tempat kuburan nabi Mirza). Kelompok ini menjual sertifikat kuburan surga tersebut kepada jama’ahnya dengan mematok harga yang sangat mahal. (copian sertifikat kuburan surga di Rabwah, dari buku Ahmad Hariadi, Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah Qadiyani, Rabithah Alam Islami, Makkah Mukarramah, 1408H/1988M, hal, 64-65).

7. Qadiyan dan Rabwah bagi mereka adalah sebagai tempat suci.

Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore)
Kelompok Jemaat ini memiliki keyakinan bahwa:

1. Mirza Ghulam Ahmad a.s itu seorang mujaddid (pembaharu) Islam.

2. Mirza Ghulam Ahmad a.s muhaddats (orang yang berbicara dengan Allah secara langsung).

3. Mirza Ghulam Ahmad a.s menerima wahyu. Adapun wahyu yang diterima Mirza merupakan potongan-potongan dari ayat Al Qur’an. Penurunan ayat yang sepotong-sepotong itu bukan berarti membajak ayat Al Qur’an. Menurut keyakinan mereka “Itu bukan urusan Mirza Ghulam Ahmad, tetapi urusan Allah”. (PB GAI, Agustus 2002, hal. 13).

4. Seluruh wahyu-wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad itu adalah betul-betul wahyu yang datang dari Allah SWT.

Ahmadiyah berbeda jauh dengan Islam

Islam sebagai agama satu-satunya yang diridhoi-Nya, bukan pendapat manusia, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang mengatakannya.

http://artikelassunnah.blogspot.com/2011/02/mengenal-kelompok-ahmadiyah.html

Seorang Wanita Pezina Diampuni Dosanya Karena KEIKHLASANNYA Menolong Seekor Anjing

Abu Hurairah radhiallahu 'anhu meriwayatkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :

بَيْنَمَا كَلْبٌ يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِي إِسْرَائِيلَ فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فَسَقَتْهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ

"Tatkala ada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan berputar-putar mengelilingi sebuah sumur yang berisi air, tiba-tiba anjing tersebut dilihat oleh seorang wanita pezina dari kaum bani Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya (sepatunya untuk turun ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut-pen) lalu memberi minum kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun mengampuni wanita tersebut karena amalannya itu" (HR Al-Bukhari no 3467 dan Muslim no 2245)

Dalam hadits ini sangatlah nampak keikhlasan sang wanita pezina tatkala menolong sang anjing, hal ini nampak dari perkara-perkara berikut ini :

- Tidak ada seorangpun yang melihat sang wanita tatkala menolong sang anjing. Yang melihatnya hanyalah Dzat Yang Maha melihat yaitu Allah.

- Amalan yang cukup berat yang dikerjakan oleh sang wanita ini, di mana ia turun ke sumur lalu mengisi air ke sepatunya lalu memberikannya ke anjing tersebut. Bagi seorang wanita pekerjaan seperti ini cukup memberatkan. Akan tetapi terasa ringan bagi seorang yang ikhlash

- Wanita ini sama sekali tidak mengharapkan ucapan terima kasih dari hewan yang hina seperti anjing tersebut, apalagi mengharapkan balas jasa dari anjing tersebut. Ini menunjukkan akan ikhlashnya sang wanita pezina tersebut.

Ibnul Qoyyim berkata, "Apa yang ada di hati wanita pezina yang melihat seekor anjing yang sangat kehausan hingga menjilat-jilat tanah. Meskipun tidak ada alat, tidak ada penolong, dan tidak ada orang yang bisa ia nampakkan amalannya, namun tegak di hatinya (tauhid dan keikhlasan-pen) yang mendorongnya untuk turun ke sumur dan mengisi air di sepatunya, dengan tanpa mempedulikan bisa jadi ia celaka, lalu membawa air yang penuh dalam sepatu tersebut dengan mulutnya agar memungkinkan dirinya untuk memanjat sumur. Salain itu tawadhu' wanita pezina ini terhadap makhluk yang biasanya dipukul oleh manusia. Lalu iapun memegang sepatu tersebut dengan tangannya lalu menyodorkannya ke mulut anjing tanpa ada rasa mengharap sedikitpun dari anjing adanya balas jasa atau rasa terima kasih. Maka sinar tauhid yang ada di hatinya tersebut pun membakar dosa-dosa zina yang pernah dilakukannya, maka Allah pun mengampuninya" (Madaarijus Saalikiin 1/280-281)

Sumber: www.firanda.com

Sedikit demi Sedikit Umat Islam Akan Mengikuti Kebiasaan Orang-Orang Yahudi dan Nasrani

Sedikit demi Sedikit Umat Islam Akan Mengikuti Kebiasaan Orang-Orang Yahudi dan Nasrani
Untuk anggota IPMB (Ikatan Pelajar Muslim Boyolali)
Rabee' Ali Nufail 15 Februari jam 17:12 Balas • Laporkan
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ. قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
متفق عليه واللفظ للبخاري

Dari Abu Said Al Khudri radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh-sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga jika mere...ka masuk ke liang dhobb niscaya kalian juga akan mengikutinya”. Kami bertanya, Wahai Rasulullah apakah yang engkau maksudkan orang Yahudi dan Nasrani? Beliau bersabda, “Siapa lagi(kalau bukan mereka)?”[Muttafaqun 'alaih, lafal ini sesuai redaksi
Bukhari]

Beberapa faidah dari hadits ini:

1. Hadits ini merupakan salah satu tanda kenabian Muhammad shallalllahu 'alaihi wa sallam yang menginformasikan kepada ummatnya hal-hal yang akan terjadi setelah wafat beliau
2. Secara lamban akan tetapi pasti... sebagian kaum muslim akan taqlid (mengekor) kebiasaan, budaya dan model hidup orang kafir Mereka yang sudah menjadi korban mode orang kafir akan berupaya sedemikian rupa untuk bisa mengikuti kebiasaan orang kafir tersebut walaupun untuk sesuatu yang sulit dan beresiko
3. Orang kafir yang paling banyak menjadi ikutan dan panutan kaum muslimin yang sesaat adalah dari kalangan Yahudi dan Nasrani
4. Disyariatkannya membuat permisalan dalam menjelaskan sesuatu
5. Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan nampaknya pengkhususan dhobb dalam perumpamaan ini karena pada dasarnya liang/lubang dhobb itu sangat sempit dan jelek akan tetapi karena mereka begitu ingin mengikuti budaya mereka maka walaupun orang Yahudi dan Nasrani masuk ke liang dhobb (melakukan suatu budaya yang sulit diikuti dan nyata keburukannya) maka mereka pun siap melakukan hal yang sama

http://www.markazassunnah.com/2009/06/apa-yang-antum-ketahui-tentang-dhobb.html

ISTIQOMAH

ISTIQAMAH SEBAGAI SEBUAH JALAN HIDUP
Pengertian Istiqamah
Istiqamah adalah berpegang teguh dengan agama dan kokoh di atasnya.
Ibnu Rajab al-Hanbali di dalam bukunya “Jami’ul Ulum wal Hikam” mengatakan, “Istiqamah adalah penempuhan jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus, tanpa adanya pembengkokan ke kanan maupun ke kiri. Dan hal itu mencakup ketaatan secara keseluruhan, baik lahir maupun batin, serta meninggalkan segala bentuk larangan.
Hukum Istiqamah
Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan NabiNya (Shallallahu 'Alaihi Wassallam) dan para pengikutnya untuk istiqamah baik dalam aqidah, syari’at, pedoman hidup, maupun dalam manhaj dan menjauhi sikap berlebih-lebihan, serta menghindari hawa nafsu para wali-wali syaitan. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman, artinya, “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Huud:112).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan rasulNya dan hamba-hambaNya yang beriman untuk kokoh dan senantiasa istiqamah, karena itu termasuk cara terbesar untuk mendapatkan kemenangan atas musuh-musuh mereka dan untuk menyelisihi lawan-lawan mereka. Dan Dia melarang mereka dari perbuatan ghuluw yaitu perbuatan melampui batas, karena sesungguhnya hal itu musibah sekalipun terhadap orang musyrik. Dan Dia menjelaskan bahwa Dia Maha Melihat amalan hamba-hambaNya, tidak lalai dari sesuatu sekecil apapun dan tidak ada yang tersembunyi dariNya hal sekecil apapun.”
Buah Istiqamah
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman, artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan):” Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushilat: 30-32).
Dan firman Allah Subhanahu Wata’ala, artinya, “Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rizki yang banyak)”. (QS. Al-Jin:16).
Dari ayat-ayat yang mulia di atas kita bisa mengambil beberapa faidah/buah dari Istiqamah di antaranya:
Pertama, Malaikat turun kepada mereka
Kedua, mendapatkan kedamaian dan ketenangan
Ketiga, baginya kabar gembira berupa Surga.
Keempat, diberikan keluasan rizki dan kehidupan yang lapang.
Kelima, diampuni dosa-dosanya.
Jalan menempuh Istiqamah
1. Melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala , bersungguh-sungguh di dalamnya dan memaksa hawa nafsu untuk taat kepadaNya.
2. Ilmu, karena bagaimana kita bisa istiqamah kalau tidak dilandasi dengan ilmu.
3. Ikhlash.
4. Meneladani Rasulullah (Shallallahu 'Alaihi Wassallam)
5. Seimbang dan pertengahan, tidak ghuluw dan tidak meremehkan.
6. Doa.
7. Bergaul dan bersahabat dengan orang-orang shalih.
8. Selalu ada ikatan dengan al-Qur’an, baik dengan membaca, menghafal, mentadabburi dan mengamalkannya.
Dampak Istiqamah dalam kehidupan seorang muslim
1. Memperoleh tauhid yang murni.
2. Mendorong untuk berdakwah kepada jalan Allah.
3. Memiliki kesungguhan dan cita-cita yang tinggi.
4. Kokoh dan teguh di atas kebenaran.
5. Merasa kurang dalam beribadah (tidak merasa sempurna).
Penghalang-penghalang Istiqamah
1. Menganggap enteng perbuatan maksiat.
2. Menyibukkan diri dengan dunia dan melupakan akhirat.
3. Berlebih-lebihan dalam hal-hal yang mubah (yang diperbolehkan).
4. Sifat tengah-tengah (pertengahan) yang buruk.
Cerminan para Salaf dalam Istiqamah mereka
- Istiqamah dalam ucapan. Imam al-Bukhari Radiyallahu ‘Anhu berkata, “Aku berharap berjumpa dengan Allah Subhanahu Wata’ala dan Dia tidak menghisabku (menghitungku) telah menggunjing seorangpun.”
- Istiqamah dalam rasa khawatir atau gundah
Dalam biografi Sahabat mulia Jam’ah bin Abi Jam’ah ada riwayat bahwasanya dia bermalam di rumah salah seorang Tabi’in bernama Haram bin Hayyan al-‘Abdi, maka dia melihat Jam’ah menangis semalam suntuk, maka Haram berkata kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Dia berkata, “Aku teringat suatu malam yang mana pada pagi harinya dibangkitkan manusia dari kubur-kubur mereka.” Kemudian dia bermalam di rumahnya pada malam berikutnya, lalu diapun menangis, maka Haram pun bertanya kepadanya lalu diapun menjawab, “Aku teringat suatu malam yang pagi harinya bintang-bintang berjatuhan.”
- Kokoh dan tegar dalam Istiqamah
Sikap Ka’ab bin Malik Radiyallahu ‘Anhu ketika beliau menolak surat tawaran dari Raja Ghassan yang datang kepada beliau yang di dalamnya ada tawaran yang menggiurkan dan kemewahan, akan tetapi tungku api adalah jawaban yang paling tegas terhadap tawaran yang menggiurkan itu (maksudnya beliau tidak menghiraukan tawaran itu dan beliau lebih memilih membakar surat tawaran itu).
Sikap Abu Bakar ash-Shiddiq Radiyallahu ‘Anhu terhadap orang-orang murtad dan yang tidak mau membayar zakat setelah wafatnya Rasulullah (Shallallahu 'Alaihi Wassallam) maka nampak jelas tekad dan keteguhan beliau (Shallallahu 'Alaihi Wassallam) dalam membela agama Allah. Dan ketika itu jazirah Arab goncang dengan adanya kemurtadan dan kemunafikan, maka beliau tetap tegar seperti gunung yang kokoh, tidak mau mengalah (menggugurkan zakat) walaupun hanya seekor anak unta sekalipun, sampai Allah memenangkannya dan jadilah beliau tanda dan simbol bagi setiap orang yang menginginkan Istiqamah dan mencari teladan yang shalih.
Hadits-hadits seputar Istiqamah
Dari Sufyan bin ‘Abdullah ats-Tsaqafi berkata, aku berkata, “Wahai Rasulullah, katakan kepadaku suatu perkataan dalam Islam, yang aku tidak menanyakannya tentang hal itu kepada seorang pun selain engkau –dalam sebuah riwayat yang lain, ‘setelah engkau’- Maka Rasulullah (Shallallahu 'Alaihi Wassallam) menjawab, “Katakanlah aku beriman kepada Allah, lalu Istiqamahlah.”
Dari Anas bin Malik Radiyallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah (Shallallahu 'Alaihi Wassallam) bersabda, “Tidak akan Istiqamah (lurus) keimanan seorang hamba sebelum Istiqamah hatinya, dan tidak akan Istiqamah hatinya sebelum Istiqamah lisannya.” (HR. Imam Ahmad).
Dari Tsauban Radiyallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah (Shallallahu 'Alaihi Wassallam) bersabda, “Istiqamahlah kalian dan kalian tidak akan mampu berIstiqamah secara sempurna, dan ketahuilah bahwa sesunguhnya sebaik-baik amalan kalian adalah shalat, dan tidak menjaga wudhu kecuali seorang mukmin.” (HR. at-Tirmidzi, Malik dll).
Makna “Wa Lan Tuhshuu” disebutkan di dalam kitab al-Muntaqo syarah (penjelasan) terhadap kitab “al-Muwatha” beberapa makna di antaranya: Kalian tidak akan sanggup untuk menjangkau semua perbuatan amal shalih, atau kalian tidak akan bisa menghitung pahala dari Istiqamah apabila engkau melakukannya. Sedangkan dalam kitab “Murqatul Mashaabih” syarah terhadap kitab “Misykatul Mashaabih” disebutkan bahwa maknanya adalah engkau tidak akan mampu berIstiqamah secara sempurna.
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radiyallahu ‘Anhu (secara mauquf maupun marfu’), “Jika waktu pagi tiba seluruh anggota badan menyatakan ketundukannya terhadap lisan dengan mengatakan, ‘Bertakwalah kepada Allah terkait dengan kami karena kami hanyalah mengikutimu. Jika engkau baik maka kami akan baik. Sebaliknya jika kamu melenceng maka kami pun akan ikut melenceng” (HR Tirmidzi no 2407 dan dinilai hasan oleh Al Albani).
Pembahasan ini diringkas dari kitab “Al-Istiqamah Manhaju Hayatin”, karya Muhyidin Mistu hal 52-69.
Sumber: Diterjemahkan dengan sedikit tambahan dari “Al-Istiqamah” dari http://www.islameiat.com/main/?c=200&a=1332,

Senin, 07 Februari 2011

Hukum Memberi Ucapan Selamat Kepada Perayaan Orang Kafir



"Apa hukum Islam tentang memberi ucapan selamat untuk kaum Nashara dalam hari raya mereka,sebab saya mempunyai paman yang tetangganya seorang nashrani,dia mengucapkan selamat kepadanya dalam hari-hari raya,dan perayaan-perayaan. Demikian pula dia mengucapkan selamat kepada pamanku itu pada saat hari raya, perayaan tertentu, dan setiap ada acara. Apakah dibolehkan mengucapkan selamat seorang muslim kepada nashrani,dan nashrani kepada muslim dalam perayaan dan hari raya mereka?

Berilah fatwa untuk kami semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian.

Lajnah Daimah menjawab :


"Tidak boleh seorang muslim mengucapkan selamat kepada kaum nashara dalam pada hari-hari raya mereka. Sebab demikian itu termasuk bentuk tolong menolong diatas dosa dan sungguh kami telah dilarang melakukannya. Allah Ta'ala berfirman:


وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

"Janganlah kalian tolong menolong diatas dosa dan permusuhan". (QS. Al Maidah :1)


Demikian pula hal itu menyebabkan dia sering bertemu dengan mereka, melakukan sesuatu yang mereka cintai, dan mengesankan ridha dengan apa yang mereka perbuat dengan syi'ar-syi'ar mereka dan ini tidak diperbolehkan.

Yang wajib adalah menampakkan permusuhan kepada mereka dan menjelaskan kebenciannya,sebab mereka telah memusuhi Allah Azza waJalla,menyekutukan-Nya, dan menisbatkan kepada-Nya istri dan anak.Allah Ta'ala berfirman:

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ


"Kamu tidak mendapati satu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling cinta mencintai dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah bapak-bapak mereka, atau anak-anak mereka, atau saudara-saudara mereka, atau karib kerabat mereka. Mereka itulah yang Allah mencatat pada mereka keimanan dan menguatkannya dengan ruh dari-Nya."
(QS.Al-Mujadilah:22)


Dan firman-Nya:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ …


"Sungguh bagi kalian suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya,tatkala mereka berkata kepada kaumnya: sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah dari selain Allah,kami mengingkari kalian dan telah nampak antara kami dan kalian kebencian dan permusuhan selama-lama-Nya hingga kalian beriman kepada Allah semat”.

(QS.Al-Mumtahanah:4)

Semoga Allah memberi taufiq,shalawat dan salam kepada Nabi kami Muhammad,keluarga,dan para sahabatnya.

Lajnah Daimah,untuk pembahasan ilmiyah dan fatwa

Pimpinan: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Wakil ketua: Abdurrazzaq Afifi, Anggota: Abdullah Ghudayyan

Sumber : (Fatawa al-lajnah:3/no: 11168 terjemah oleh Al-Ustadz Abu Karimah Askari Hafizhahullah )

(Sumber http://www.salafybpp.com/index.php?option=com_content&view=article&id=90:hukum-memberi-ucapan-selamat-kepada-perayaan-orang-kafir&catid=31:nasehat-a-bantahan&Itemid=46)

Jika Idul fitri Bertepan dengan hari Jum'at?????

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah

Pertanyaan : Jika datang ‘Idul Fithri pada hari Jum’at apakah boleh bagiku untuk shalat ‘Id namun aku tidak shalat Jum’at, atau sebaliknya?

Jawab : Apabila Hari Raya bertepatan dengan hari Jum’at maka barangsiapa yang telah menunaikan shalat ‘id berjama’ah bersama imam gugur darinya kewajiban menghadiri shalat Jum’at, dan hukumnya bagi dia menjadi sunnah saja. Apabila dia tidak menghadiri shalat Jum’at maka tetap wajib atasnya shalat zhuhur. Ini berlaku bagi selain imam.

Adapun imam, tetap wajib atasnya untuk menghadiri Jum’at dan melaksanakannya bersama kaum muslimin yang hadir. Shalat Jum’at pada hari tersebut tidak ditinggalkan sama sekali.

(Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan VIII/44)

* * *

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta`

Fatwa no. 2358

Pertanyaan : Pada tahun ini bertemu dalam sehari dua hari raya, yaitu : Hari Jum’at dan ‘Idul Adh-ha. Manakah yang benar : Kita tetap melaksanakan shalat zhuhur jika kita tidak shalat Jum’at, ataukah kewajiban shalat zhuhur gugur apabila kita tidak shalat Jum’at?

Jawab : Barangsiapa yang melaksanakan shalat ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka dia diberi rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat Jum’at pada hari tersebut, kecuali imam. Adapun imam, tetap wajib atasnya menegakkan shalat Jum’at bersama kaum muslimin yang hadir shalat Jum’at, baik yang sudah shalat ‘Id maupun tidak shalat ‘Id. Apabila tidak ada seorang pun yang hadir, maka gugurlah kewajiban Jum’at darinya, dan dia melaksanakan shalat Zhuhur.

(Para ‘ulama yang berpendapat demikian) berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami berkata :

« شهدت معاوية بن أبي سفيان وهو يسأل زيد بن أرقم قال: أشهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عيدين اجتمعا في يوم؟ قال: نعم، قال: فكيف صنع؟ قال: صلى العيد ثم رخص في الجمعة، فقال: من شاء أن يصلي فليصل، »

Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah engkau menyaksikan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dua ‘Id bertepatan pada satu hari?” Zaid menjawab, “Ya.” Mu’awiyah bertanya lagi, “Bagaimana yang beliau lakukan?” Zaid menjawab, “Beliau mengerjakan shalat ‘Id kemudian memberikan rukhshah (keringanan) untuk shalat Jum’at. Beliau mengatakan, Barangsiapa yang hendak mengerjakan shalat (Jum’at), maka silakan mengerjakan shalat (Jum’at).” [1]

Juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya juga dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda :

« قد اجتمع في يومكم هذا عيدان، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنا مجمعون »

Telah terkumpul pada hari kalian ini dua ‘Id. Barangsiapa yang mau maka itu sudah mencukupinya dari shalat Jum’at. Sesungguhnya kita memadukan (dua ‘id). [2]

Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa rukhshah (keringanan) tersebut untuk shalat Jum’at bagi barangsiapa yang telah menunaikan shalat ‘Id pada hari tersebut.

Sekaligus diketahui bahwa tidak berlaku rukhshah bagi imam, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut, “Sesungguhnya kita memadukan (dua ‘id).” Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari shahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma :

« أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في صلاة الجمعة والعيد بسبح والغاشية، وربما اجتمعا في يوم فقرأ بهما فيهما »

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu membaca dalam shalat Jum’at dan shalat ‘Id surat Sabbihis dan surat Al-Ghasyiyah. Terkadang dua ‘Id tersebut bertemu/bertepatan dalam satu hari, maka beliau membaca dua surat tersebut dalam dua shalat (”Id dan Jum’at).”

Barangsiapa yang tidak menghadiri shalat Jum’at bagi yang telah menunaikan shalat ‘Id, maka tetap wajib atasnya untuk shalat Zhuhur, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban shalat Zhuhur bagi yang tidak shalat Jum’at.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta`

Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi

Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayyan

Anggota : ‘Abdullah bin Qu’ud.

* * *

Adapun dalam fatwo 2140, Al-Lajnah menyatakan sebagai berikut :

Apabila ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka gugur kewajiban menghadiri shalat Jum’at bagi orang yang telah menunaikan shalat ‘Id. Kecuali bagi imam, kewajiban shalat Jum’at tidak gugur darinya. Terkecuali apabila memang tidak ada orang yang berkumpul/hadir (ke masjid) untuk shalat Jum’at.

Di antara yang berpendapat demikian adalah adalah : Al-Imam Asy-Sya’bi, Al-Imam An-Nakha’i, Al-Imam Al-Auza’i. Ini adalah madzhab shahabat ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Sa’id, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az-Zubair radhiyallahu ‘anhum dan para ‘ulama yang sependapat dengan mereka. … .

* * *

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah

Pertanyaan : Apa hukum shalat Jum’at jika bertepatan dengan hari ‘Id, apakah wajib menegakkannya atas seluruh kaum muslimin, ataukah hanya wajib atas sekelompok tertentu saja? Karena sebagian orang berkeyakinan bahwa apabila hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at berarti tidak ada shalat shalat Jum’at.

Jawab : Tetap wajib atas imam dan khathib shalat Jum’at untuk menegakkan shalat Jum’at, hadir ke masjid, dan shalat berjama’ah mengimami orang-orang yang hadir di masjid. Karena dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan shalat Jum’at pada hari ‘Id, beliau ‘alahish shalatu was salam melaksanakan shalat ‘Id dan shalat Jum’at. Terkadang beliau dalam shalat ‘Id dan shalat Jum’at sama-sama membaca surat Sabbihisma dan surat Al-Ghasyiyah, sebagaimana dikatakan oleh shahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma dalam riwayat yang shahih dari beliau dalam kitab Shahih (Muslim).

Namun bagi orang yang yang telah melaksanakan shalat ‘Id, boleh baginya untuk meninggalkan shalat Jum’at dan hanya melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya atau berjama’ah dengan beberapa orang saudaranya, apabila mereka semua telah melaksanakan shalat ‘Id.

Apabila dia melaksanakan shalat Jum’at berjama’ah maka itu afdhal (lebih utama) dan akmal (lebih sempurna). Namun apabila ia meninggalkan shalat Jum’at, karena ia telah melaksanakan shalat ‘Id, maka tidak mengapa, namun tetap wajib atasnya melaksanakan shalat Zhuhur, baik sendirian ataupun berjama’ah.

Wallahu Waliyyut Taufiq

(Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XII/341-342)

* * *

Dalam fatwanya yang lain, ketika beliau mengingkari pendapat yang menyatakan bahwa jika ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘Id gugur kewajiban shalat Jum’at dan shalat Zhuhur sekaligus, Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan :

“Ini juga merupakan kesalahan yang sangat jelas. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan atas hamba-hamba-Nya shalat 5 waktu dalam sehari semalam, dan kaum muslimin telah berijma’ atas kewajiban tersebut. Yang kelima pada hari Jum’at adalah kewajiban shalat Jum’at. Hari ‘Id apabila bertepatan dengan hari Jum’at termasuk dalam kewajiban tersebut. Kalau seandainya kewajiban shalat Zhuhur gugur dari orang yang telah melaksanakan shalat ‘Id niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengingatkan hal tersebut. Karena ini merupakan permasalahan yang tidak diketahui oleh umat. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat Jum’at bagi orang yang sudah melaksanakan shalat ‘Id dan tidak menyebutkan gugurnya kewajiban shalat Zhuhur, maka diketahui bahwa kewajiban (shalat Zhuhur) tersebut masih tetap berlaku. Berdasarkan hukum asal dan dalil-dalil syar’i, serta ijma’ (kaum muslimin) atas kewajiban shalat 5 waktu dalam sehari semalam.

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melaksanakan shalat Jum’at pada (hari yang bertepatan dengan) hari ‘Id, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya dari shahabat An-Nu’man bin Basyir :

« أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في صلاة الجمعة والعيد بسبح والغاشية، وربما اجتمعا في يوم فقرأ بهما فيهما »

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu membaca dalam shalat Jum’at dan shalat ‘Id surat Sabbihis dan surat Al-Ghasyiyah. Terkadang dua ‘Id tersebut bertemu/bertepatan dalam satu hari, maka beliau membaca dua surat tersebut dalam dua shalat (”Id dan Jum’at).”

Adapun apa yang diriwayatkan dari shahabat ‘Abdullah bin Az-Zubair bahwa beliau melaksanakan shalat ‘Id kemudian tidak keluar lagi baik untuk shalat Jum’at maupun shalat Zhuhur, maka itu dibawa pada kemungkinan bahwa beliau memajukan shalat Jum’at, dan mencukupkan dengan itu dari mengerjakan shalat ‘Id dan shalat Zhuhur. Atau pada kemungkinan bahwa beliau berkeyakinan bahwa imam pada hari tersebut memiliki hukum yang sama dengan yang lainnya, yaitu tidak wajib keluar untuk melaksanakan shalat Jum’at, namun beliau tetap shalat Zhuhur di rumahnya. Kemungkinan mana pun yang benar, kalau pun taruhlah yang benar dari perbuatan beliau bahwa beliau berpendapat gugurnya kewajiban shalat Jum’at dan Zhuhur yang sudah shalat ‘Id maka keumuman dalil-dalil syar’i, prinsip-prinsip yang diikuti, dan ijma’ yang ada bahwa wajib shalat Zhuhur atas siapayang tidak shalat Jum’at dari kalangan para mukallaf, itu semua lebih dikedepankan daripada apa yang diamalkan oleh Ibnu Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu. … .

(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XXX/261-262)

* * *

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah :

Kenyataannya masalah ini terdapat perbedaan di kalangan ‘ulama rahimahumullah. Pendapat yang kuat, yang ditunjukkan oleh As-Sunnah, bahwa ….

Kita katakan, Apabila hari Jum’at bertepatan dengan ‘Id maka engkau wajib shalat ‘Id. Barangsiapa yang telah melaksanakan shalat ‘Id, maka bagi dia bebas memilih apakah dia mau hadir shalat Jum’at bersama imam, ataukah ia shalat Zhuhur di rumahnya.

Kedua, tetap wajib mengadakan shalat Jum’at di suatu negeri/daerah. Barangsiapa yang hadir maka dia shalat Jum’at, barangsiapa yang tidak hadir maka dia shalat Zhuhur di rumahnya.

Ketiga, pada hari itu shalat Zhuhur tidak dilaksanakan di masjid, karena yang wajib dilaksanakan adalah shalat Jum’at, sehingga tidak dilakukan shalat Zhuhur (di masjid).

Inilah pendapat yang kuat, yang ditunjukkan oleh dalil-dalil As-Sunnah.

(Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb - Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)

* * *

[1] HR. Ahmad (IV/372), Abu Dawud 1070, An-Nasa`i 1591, Ibnu Majah 1310. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Madini, Al-Hakim, dan Adz-Dzahabi. Dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud - Al-Umm no. 981. (pent)

[2] HR. Abu Dawud 1073, Ibnu Majah 1311. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud - Al-Umm no. 983.

(Diambil dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=402)

Seputar Shaum Asysyura

SHAUM ‘ÂSYÛRÂ`

Hukum, Keutamaan, Sejarah, dan Cara Pelaksanaannya

Shaum ‘âsyûrâ` adalah shaum (puasa) hari âsyûrâ`, yaitu hari ke-10 bulan Muharram. Shaum pada hari ini memiliki keutamaan yang sangat besar. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya tentang shaum pada hari Asyura`, maka beliau menjawab :

يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ

“(Shaum tersebut) menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lewat.” [HR. Muslim 1162)

Shaum ini merupakan shaum sunnah. Dulu Nabi shalallahu’alaihi wa sallam biasa melakukannya. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Ummul Mu`minin Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu’anha :

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ r يَصُومُهُ.

“Dulu kaum Quraisy biasa bershaum hari ‘Asyura pada masa jahiliyyah. Dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam juga terbiasa bershaum pada hari tersebut (yakni sebelum beliau berhijrah ke Madinah).” [HR. Al-Bukhâri 2002, Muslim 1125]

Ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam telah berhijrah dan tiba di Madinah, beliau mendapati Yahudi Madinah ternyata juga bershaum pada hari tersebut. Maka beliau bertanya kepada mereka. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma :

أَنَّ رَسُولَ اللهِ r قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ r « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ r : « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللهِ r وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.

Bahwa Nabi shalallahu’alaihi wa sallam ketika tiba di Madinah, beliau mendapat Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka beliau bertanya (kepada mereka) : “Hari apakah ini yang kalian bershaum padanya?” Maka mereka menjawab : “Ini merupakan hari yang agung, yaitu pada hari tersebut Allah menyelamatkan Musa beserta kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun bersama kaumnya. Maka Musa bershaum pada hari tersebut dalam rangka bersyukur (kepada Allah). Maka kami pun bershaum pada hari tersebut” Maka Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Maka Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bershaum pada hari tersebut dan memerintahkan (para shahabat) untuk bershaum pada hari tersebut. [HR. Al-Bukhari 2004, 3397, 3943, 4680, 4737. Muslim 1130]

Maka awal setiba beliau di Madinah, beliau memerintahkan para shahabatnya untuk melaksanakan shaum pada hari ‘Asyura. Bahkan menjadi shaum wajib bagi kaum muslimin. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu’anha :

كَانَ رَسُولُ اللهِ r أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ ، وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

“Dulu Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam memerintahkan (para shahabat) untuk bershaum pada hari ‘Asyura. Namun ketika diwajibkan shaum Ramadhan, maka jadilah bagi siapa yang mau boleh bershaum (’Asyura`) dan barangsiapa yang mau boleh juga tidak bershaum.” [Al-Bukhari 2001, Muslim 1125]

Kewajiban tersebut diperkuat dengan adanya seruan umum atas perintah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam , sebagaimana dikisahkan oleh Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu’anhu :

أَمَرَ النَّبِىُّ r رَجُلاً مِنْ أَسْلَمَ أَنْ أَذِّنْ فِى النَّاسِ « أَنَّ مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ ، فَإِنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ »

Nabi shalallahu’alaihi wa sallam memerintahkan seseorang dari Aslam untuk mengumumkan kepada manusia : “Bahwa barangsiapa yang telah terlanjur makan, maka hendaknya ia bershaum pada sisa hari tersebut. Barangsiapa yang masih belum makan, hendaknya ia bershaum. Karena sesungguhnya hari ini adalah hari ‘Asyura` “. [HR. Al-Bukhari 2007, Muslim 1135]

Demikianlah, pada awal mula hijriah shaum ‘Asyura` merupakan kewajiban atas kaum muslimin.

Namun kemudian kewajiban tersebut dihapus dengan turunnya perintah shaum Ramadhan. Hal ini berdasarkan penegasan shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma :

صَامَ النَّبِىُّ r عَاشُورَاءَ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ . فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تُرِكَ

“Nabi shalallahu’alaihi wa sallam melaksanakan shaum ‘Asyura, dan memerintahkan (para shahabat) untuk bershaum juga pada hari tersebut. Namun ketika shaum Ramadhan diwajibkan, maka (shaum ‘Asyura) ditinggalkan.” [HR. Al-Bukhari no. 1892]

Juga sebagaimana penuturan ‘Aisyah radhiyallahu’anha :

فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ كَانَ رَمَضَانُ الْفَرِيضَةَ، وَتُرِكَ عَاشُورَاءُ ، فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ لَمْ يَصُمْهُ

“Ketika turun perintah shaum Ramadhan, maka shaum Ramadhan menjadi kewajiban, dan ditinggalkanlah (kewajiban) shaum ‘Asyura`. Jadinya barangsiapa yang mau boleh bershaum pada hari tersebut dan barangsiapa yang mau boleh tidak bershaum pada hari tersebut” [HR. Al-Bukhari 4504]

Maka dihapuslah kewajiban shaum ‘Asyura`, dan hukumnya berubah menjadi mustahab (tidak wajib).

Namun dalam pelaksanaanya, Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam tidak suka kalau hanya dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram saja. Beliau menginginkan untuk berbeda dan menyelisihi kaum Yahudi yang juga punya kebiasaan bershaum ‘Asyura`. Maka beliau menginginkan untuk melaksanakannya pada tanggal 9 dan 10 Muharram.

Hal ini sebagaimana dituturkan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma :

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ r يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ».

قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللهِ r.

Ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bershaum pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk bershaum pada hari itu, para shahabat shahabat berkata : “Itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara.” Maka Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Bila tiba tahun depan Insya Allah kita (juga) akan bershaum pada hari ke-9 (bulan Muharram).”

Ibnu ‘Abbas berkata : Namun belum sampai tahun depan kecuali Nabi shalallahu’alaihi wa sallam telah wafat terlebih dahulu. [HR. Muslim no. 1134]

Oleh karena itu shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menegaskan :

صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ.

“Bershaumlah pada hari ke-9 dan ke-10, selisihilah kaum Yahudi!” [HR. ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf­- nya 7839, Al-Baihaqi IV/287. Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya di bawah hadits no. 755]

Dalam riwayat lain, disebutkan agar bershaum pada tanggal 9 dan 10, atau 10 dan 11, atau 9, 10, 11.

« صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً »

“Bershaumlah kalian pada hari ‘Asyura, dan selisihilah kaum Yahudi. Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” [HR. Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah 2095]

Berarti shaum dilaksanakan tanggal 9 dan 10 Muharram, atau 10 dan 11 Muharram

Dalam riwayat lain dengan lafazh :

« صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا وَبَعْدَهُ يَوْمًا »

“Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.” [HR. Al-Baihaq IV/287]

Berarti shaum dilaksanakan tanggal 9, 10, dan 11 Muharram.

Namun tentang kedudukan hadits tersebut, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa sanadnya dha’if (lemah). Karena adanya perawi yang lemah, yaitu Ibnu Abi Laila. Dia adalah perawi yang jelek hafalannya. Ibnu Abi Laila yang jelek hafalannya ini meriwayatkan hadits tersebut secara marfu’ (sampai kepada Nabi), yang riwayatnya tersebut berbeda dengan riwayat perawi lain yang lebih kuat hafalannya, yaitu ‘Atha` dan lainnya, yang mereka meriwayatkan hadits tersebut secara mauquf (hanya ucapan) shahabat Ibnu ‘Abbas. Riwayat yang mauquf ini shahih sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dan Al-Baihaqi. Demikian penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ta’liq Shahih Ibni Khuzaimah no. 2095.

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata :

“Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mensyari’atkan kepada kita untuk bershaum sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.

- bershaum pada hari ke-9 dan ke-10 ini yang paling utama.

- kalau bershaum pada hari ke-10 dan 11 maka itu sudah mencukupi, karena (dengan cara itu sudah) menyelisihi Yahudi.

- kalau bershaum semuanya bersama hari ke-10 (yaitu 9, 10, dan 11) maka tidak mengapa. Berdasarkan sebagian riwayat : “Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.”

- Adapun bershaum pada hari ke-10 saja maka makruh.”

[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/403, fatwa no. 158]

Jadi, yang paling utama adalah shaum hari ke-9 dan ke-10.

Namun, para ‘ulama lainnya ada yang berpendapat bahwa yang paling utama adalah bershaum tiga hari, yaitu 9, 10, dan 11 Muharram. Ini merupakan pendapat Ibnul Qayyim (dalam Zadul Ma’ad II/76) dan Al-Hafizh (dalam Fathul Bari).

Pendapat ini dikuatkan pula oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata :

“Shaum ‘Asyura` memiliki empat tingkatan :

Tingkat Pertama : bershaum pada tanggal 9, 10, dan 11. Ini merupakan tingkatan tertinggi. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad : Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Selisihilah kaum Yahudi.” Dan karena seorang jika ia bershaum (pada) 3 hari (tersebut), maka ia sekaligus memperoleh keutamaan shaum 3 hari setiap bulan.

Tingkat Kedua : bershaum pada tanggal 9 dan 10. Berdasarkan sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam : “Kalau saya hidup sampai tahun depan, niscaya aku bershaum pada hari ke-9.” Ini beliau ucapkan ketika disampaikan kepada beliau bahwa kaum Yahudi juga bershaum pada hari ke-10, dan beliau suka untuk berbeda dengan kaum Yahudi, bahkan dengan semua orang kafir.

Tingkat Ketiga : bershaum pada tanggal 10 dan 11.

Tingkat Keempat : bershaum pada tanggal 10 saja. Di antara ‘ulama ada yang berpendapat hukumnya mubah, namun ada juga yang berpendapat hukumnya makruh.

Yang berpendapat hukumnya mubah berdalil dengan keumuman sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shaum ‘Asyura`, maka beliau menjawab “Saya berharap kepada Allah bahwa shaum tersebut menghapuskan dosa setahun sebelumnya.” Beliau tidak menyebutkan hari ke-9.

Sementara yang berpendapat hukumnya makruh berdalil dengan sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam : “Selisihilah kaum Yahudi. Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” Dalam lafazh lain, “Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.” Sabda beliau ini berkonsekuensi wajibnya menambahkan satu hari dalam rangka menyelisihi (kaum Yahudi), atau minimalnya menunjukkan makruh menyendirikan shaum pada hari itu (hari ke-10) saja. Pendapat yang menyatakan makruh menyendirikan shaum pada hari itu saja merupakan pendapat yang kuat.”

[Liqa`at Babil Maftuh]

Sementara itu, ketika Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`ditanya apakah boleh melaksanakan shaum ‘Asyura` satu hari saja? Maka lembaga tersebut menjawab :

“Boleh melaksanakan shaum hari ‘Asyura` satu hari saja. Namun yang afdhal (lebih utama) adalah bershaum sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Ini merupakan sunnah yang pasti dari Nabi shalallahu’alaihi wa sallam berdasarkan sabda beliau “Kalau saya masih hidup hingga tahun depan, niscaya aku akan bershaum pada hari ke-9.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata : “Yakni bersama hari ke-10.”

Wabillahit Taufiq. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa Shahbihi wa Sallam.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`

Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayyan

Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi

Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

[dari Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta` X/401, fatwa no. 13.700]

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=294)

kasus ahmadiyah bukti lemahnya pemerintah

ysyura
Yogyakarta- Kasus Cikeusik yang menimbulkan tiga korban jiwa dari Ahmadiyah, memperlihatkan bahwa pemerintah gagal dalam melindungi warganya yang seharusnya menjadi tugas utamanya.

Demikian disampaikan ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY, Arif Jamali Muis, ketika dihubungi via telepon, sore ini, Senin (07/02/2011). "Berkelanjutannya kasus Ahmadiyah, sampai akhirnya jatuh korban, menunjukkan bahwa negara tidak hadir dalam melindungi warga negaranya," tegas Arif. Pengajar SMA Muhammadiyah 3 ini mengungkapkan, Pemerintah harus turun tangan dan serius menangani kasus ini, karena nyawa setiap anak bangsa sangatlah berharga.

Lebih lanjut menurut Arif Jamali Muis, manusia boleh tidak bersepakat dengan suatu keyakinan, tetapi menghilangkan nyawa dan melakukan tindak kekerasan, adalah tindakan yang dikutuk dalam agama. Dalam Qur'an Al-Maidah ayat 8 menurut Arif, Allah mengingatkan agar kebencian yang ada, jangan menjadikan dirinya berbuat tidak adil. "Jangan sampai kekerasan atas nama kebenaran dan agama berlangsung terus. Jangan sampai kebencian mu kepada suatu kaum menyebabkan kamu berbuat tidak adil, begitu pesan al qur'an," jelasnya.
disalin dr: http://www.muhammadiyah.or.id/Berita-Persyarikatan-Muhammadiyah/kasus-ahmadiyah-bukti-negara-gagal-lindungi-warganya/menu-id-149.html

Muhammad Nabi Umat Hindu



New Delhi, India. Seorang professor bahasa dari ALAHABAD UNIVERSITY INDIA dalam salah satu buku terakhirnya berjudul "KALKY AUTAR" (Petunjuk Yang Maha Agung) yang baru diterbitkan memuat sebuah pernyataan yang sangat mengagetkan kalangan intelektual Hindu.

Sang professor secara terbuka dan dengan alasan-alasan ilmiah, mengajak para penganut Hindu untuk segera memeluk agama Islam dan sekaligus mengimani risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw, karena menurutnya, sebenarnya Muhammad Rasulullah saw adalah sosok yang dinanti-nantikan sebagai sosok pembaharu spiritual.

Prof. WAID BARKASH (penulis buku) yang masih berstatus pendeta besar kaum Brahmana mengatakan bahwa ia telah menyerahkan hasil kajiannya kepada delapan pendeta besar kaum Hindu dan mereka semuanya menyetujui kesimpulan dan ajakan yang telah dinyatakan di dalam buku. Semua kriteria yang disebutkan dalam buku suci kaum Hindu (Wedha) tentang ciri-ciri "KALKY AUTAR" sama persis dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh Rasulullah Saw.
Dalam ajaran Hindu disebutkan mengenai ciri KALKY AUTAR diantaranya, bahwa dia akan dilahirkan di jazirah, bapaknya bernama SYANUYIHKAT dan ibunya bernama SUMANEB. Dalam bahasa sansekerta kata SYANUYIHKAT adalah paduan dua kata yaitu SYANU artinya ALLAH sedangkan YAHKAT artinya anak laki atau hamba yang dalam bahasa Arab disebut ABDUN.
Dengan demikian kata SYANUYIHKAT artinya "ABDULLAH". Demikian juga kata SUMANEB yang dalam bahasa sansekerta artinya AMANA atau AMAAN yang terjemahan bahasa Arabnya "AMINAH". Sementara semua orang tahu bahwa nama bapak Rasulullah Saw adalah ABDULLAH dan nama ibunya AMINAH.
Dalam kitab Wedha juga disebutkan bahwa Tuhan akan mengirim utusan-Nya kedalam sebiuah goa untuk mengajarkan KALKY AUTAR (Petunjuk Yang Maha Agung). Cerita yang disebut dalam kitab Wedha ini mengingatkan akan kejadian di Gua Hira saat Rasulullah didatangi malaikat Jibril untuk mengajarkan kepadanya wahyu tentang Islam.
Bukti lain yang dikemukakan oleh Prof Barkash bahwa kitab Wedha juga menceritakan bahwa Tuhan akan memberikan Kalky Autar seekor kuda yang larinya sangat cepat yang membawa kalky Autar mengelilingi tujuh lapis langit. Ini merupakan isyarat langsung kejadian Isra' Mi'raj dimana Rasullah mengendarai Buroq
disalin ulang dari: http://anabih.blogspot.com/

KTSP RPP SD IPS


DOWNLOAD SILABUS, KTSP. RPP SD / MI
Silabus Pembelajaran Tematik
Kelas 1 , Kelas 2 , Kelas 3 Update 3 Mei 2008
PKn ( Pendidikan Kewarganegraan )
Kelas 1 , Kelas 2 , Kelas 3 , Kelas 4 , Kelas 5 , Kelas 6 Update 24 April 2008
PAI ( Pendidikan Agama Islam)
Kelas 1, Kelas 2 , Kelas 3 , Kelas 4, Kelas 5 , Kelas 6 Update 21-April-2008

Kelas 1 , Kelas 2 , Kelas 3 , Kelas 4 , Kelas 5 , Kelas 6 , Silabus Kelas 1,2,3 Update 3 Mei 2008
Bahasa Inggris
Kelas 1 , Kelas 2 , Kelas 3 , Kelas 4 , Kelas 5 , Kelas 6 Update 16-April-2008
Pendidikan Jasmani Olah Raga dan Kesehatan
Kelas 1 , Kelas 2 , Kelas 3 , Kelas 4 , Kelas 5 , Kelas 6 Update 16-April-2008
Bina Bahasa Indonesia Kelas 1 s/d 6 Silabus , RPP Update 25 April 2008
SAINS Kelas 1 , Kelas 2 , Kelas 3 , Kelas 4 , Kelas 5 , Kelas 6 Update 15-April-2008
MANDARIN Kelas 1 , Kelas 2 , Kelas 3 , Kelas 4 , Kelas 5 , Kelas 6 Update 15-April-2008

Ada Ujian Dibalik Rezeki


Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Adapun manusia apabila Rabb-nya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, “Rabb-ku telah memuliakanku .” Adapun bila Rabb-nya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata, “Rabb-ku menghinakanku.”(QS. 89 : 15-16).

Ujian yang datang dari Allah terkadang dalam bentuk kebaikan ataupun keburukan, sebagaimana firman-Nya:

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).” (QS. 21 : 35).

Allah akan mengujinya dengan kebaikan dan limpahan karunia, apakah dia bersyukur ataukah kufur? Allah juga akan mengujinya dengan kejelekan dan perkara-perkara yang menyakitkan, apakah dia bersabar ataukah membangkang? Kondisi manusia selalu berada di antara kesenangan dan kesusahan. Terkadang dia mendapatkan kesenangan yang membuatnya bahagia dan terkadang mendapatkan kesusahan yang membuatnya sedih, seluruhnya adalah ujian dari Allah. Tabiat manusia yang selalu berbuat zhalim dan jahil, jika diuji Rabb-nya dengan nikmat dan kemuliaan biasanya akan berkata, “Rabb-ku telah memuliakanku”, seolah-olah dia berkata, “Aku memang pantas mendapatkan karunia ini!” Ia tidak mengakui karunia Allah tersebut. Hal ini seperti firman Allah yang mengisahkan perkataan Qarun:

“Ia berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (QS. 28 : 78).

Bahkan ketika diingatkan terhadap nikmat Allah, ia berkata:

“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (QS. 28 : 78).

Dia tidak mengakui dan bahkan melupakan karunia Allah kepadanya. Inilah yang terjadi pada kebanyakan manusia, jika Allah memuliakan dan mengaruniakan nikmat kepadanya, dengan enteng mereka berkata, “Ini adalah kemuliaan yang diberikan Allah kepada kami karena kami memang pantas menerimanya!” Andai saja dia berkata, “Sesungguhnya Allah memberikan karunia ini kepada kami sekaligus mengakui bahwa nikmat itu semata didapatnya karena kemurahan Allah lalu menyebut-nyebut nikmat Allah, tentunya hal ini tidaklah mengapa.

Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Adapun bila Rabb-nya mengujinya lalu membatasi rezekinya…” (QS. 89 : 16).

Yakni disempitkan rezekinya.

“…maka dia berkata, “Rabb-ku menghinakanku.” (QS. 89 : 16).

Seolah-olah dia berkata, “Allah telah menzhalimiku dan menghinakanku sehingga tidak memberiku rezeki seperti yang diberikan kepada si fulan, tidak memuliakanku seperti Dia memuliakan si fulan.” Dia pun menjadi manusia yang tidak pernah bersyukur ketika senang, selalu bangga dengan dirinya dan selalu berkata, “Ini adalah hakku!”

Sebaliknya jika ditimpa kesusahan, maka dialah orang yang paling tidak sabar dan akan selalu menentang ketentuan Allah dan selalu berkata, “Rabb-ku menghinakanku.”

Inilah tabiat umumnya manusia. Adapun orang mukmin tidak akan berbuat seperti itu. Seorang mukmin jika diberi kemuliaan dan kenikmatan dari Rabb-nya akan segera bersyukur dan menganggap bahwa semua ini diberikan karena rahmat dan kebaikan-Nya semata, bukan beranggapan bahwa semua itu didapat karena memang merupakan hak dan kemuliaan dirinya. Dan jika mendapat ujian dari Rabb-nya dengan menyempitkan rezekinya dia akan selalu bersabar sambil mengharapkan balasan pahala, dan segera introspeksi diri sambil berkata, “Ini semua karena dosa-dosaku, Allah tidak akan menghinakan dan menzhalimi diriku.” Ia pun menjadi orang yang paling bersabar ketika diuji dengan derita dan bencana dan paling bersyukur ketika diuji dengan kelapangan dan kenikmatan.

Pada kedua ayat ini menganjurkan agar manusia selalu berusaha untuk sabar dan menyabarkan diri. Hendaknya selalu bertanya, “Apa hikmahnya Allah memberiku harta ini? Apa yang Dia kehendaki dariku? Allah ingin agar aku bersyukur.” Atau bertanya, “Apa hikmahnya Allah mengujiku dengan kefakiran, dengan penyakit ini dan itu? Dia inginkan agar aku bersabar.”

Hendaklah dia selalu introspeksi diri agar tidak seperti karakter manusia lainnya yang selalu berbuat jahil dan zhalim. Karena itulah Allah berfirman, “Sekali-kali tidak (demikian)”. Maksudnya bahwa sebenarnya karunia yang diberikan Allah kepadamu bukan karena kemuliaan dirimu ataupun hakmu, namun semuanya karena kemurahan-Nya semata. Sebaliknya ketika Dia membatasi rezekimu bukan berarti Dia menghinakanmu, tetapi karena hikmah tertentu dan keadilan-Nya semata.

Sumber: Kitab Tafsir Juz 'Amma karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Tafsir Surat Al-Fajr ayat 15-16, hal. 406-409. Terbitan Pustaka At-Tibyan.

Keutamaan Hari Jumat

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Sesungguhnya diantara hari yang paling afdhol bagi kalian adalah hari jum'at, Pada hari itu Adam diciptakan dan diwafatkan,dan pada hari itu akan ditiupkan sangkakala (kiamat), oleh karena itu perbanyaklah membaca sholawat pada hari jum'at, karena sholawat kalian akan disampaikan padaku". [SHAHIH. HR Abu Daud 1047, An Nasaa-i 3/91, Ibnu Majah 1636, Ahmad 4/8, Ad Darimi 1/369 Ibnu Khuzaimah 16, Al Hakim 1/278, Al Baihaqi 3/248].

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Perbanyaklah oleh kamu sholawat kepadaku pada hari jum'at dan malam jum'at, karena barang siapa yang bersholawat kepadaku satu kali (sholawat saja), niscaya Allah bersholawat kepadanya sepuluh kali". [HASAN SHAHIH. HR Baihaqi 3/249. Di shahihkan oleh Albani dalam Silsilah Ahaadits ash shahiihah no. 1407].

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya salah satu dari hari kalian yg utama adalah hari jum'at, padanya Adam diciptakan, padanya dia dicabut nyawanya, padanya ditiupkan sangkakala, padanya kematian umum (hari kiamat), maka pada hari itu perbanyaklah shalawat kepadaku karena shalawat kalian ditampakkan kepadaku", Mereka bertanya,"Bagaimana shalawat kami ditampakkan kepadamu sementara engkau telah menjadi tulang yang lapuk?". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab,"Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi bumi untuk memakan jasad kami (para Nabi)". [SHAHIH. HR. Abu Daud, An Nasa-i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Di shahihkan oleh Al Albani dlm Shahih Targhib wat Tarhib II/696-14, jilid II hal 130].

Dari Abu Sa'id Al Khudri, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Barang siapa membaca surat Al Kahfi pada hari jum'at, akan diberikan cahaya diantara dua jum'at". [Hasan Shahih. HR. Al Hakim 2/368,Al Baihaqi 3/249, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Irwa'ul Ghalil no. 626, juga ada riwayat lain yang menyebutkan di baca pada malam jum'at, oleh Imam Ad Darimi dengan sanad yang mauquf shahih].

"Pada hari jum'at, ada satu waktu yg bila seorang muslim sholat dan minta (berdoa) kepada Allah, maka akan di kabulkan" dan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa waktunya sedikit. [SHAHIH. HR. Bukhari no 935].

Dalam riwayat lain "Waktu terkabulnya doa adalah antara duduknya imam (khatib jum'at) sampai selesai sholat (jum'at)". [SHAHIH. HR. Muslim no 853].

Dalam riwayat lain, dari sahabat Jabir radhiallahu anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Carilah (waktu terkabulnya doa) di akhir waktu sesudah sholat ashar di hari jum'at)". [SHAHIH. HR. Abu Daud no 1048, An Nasaa-i 3/99].

Dari Abu Sa'id al Khudry rodhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Mandi hari jum'at wajib bagi setiap orang yang telah dewasa". [HR. Bukhari no 879 dan Muslim no 864].

Adapun lafazh bacaan sholawat yang paling ringkas yang sesuai dalil adalah :

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ

Allahumma shollii wa sallim 'alaa nabiyyinaa Muhammad.
(Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Nabi kami Muhammad)
[SHAHIH. HR. At-Thabrani melalui dua isnad, keduanya baik. Lihat Majma’ Az-Zawaid 10/120 dan Shahih At- Targhib wat Tarhib 1/273].

Dari Muhammad bin Abdurrahman bin Zahrah, pamanku berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mendengar panggilan adzan pada hari Jum'at dan tidak mendatanginya, kemudian mendengar dan tidak mendatanginya, kemudian mendengar dan tidak mendatanginya, kemudian mendengar dan tidak mendatanginya, maka Allah akan menutup hatinya dan menjadikan hatinya seperti hati orang munafik." [HR. Al Baihaqi, Abu Ya'la, dishahihkan oleh Ibnu Hajar dan Ibnu Mundzir, hadits ini dihasankan oleh Masyhur Hasan Salman dalam Al Qulul Mubin fii Akhtha'il Mushollik].

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Barang siapa yang pada hari Jumat mandi seperti mandi janabat, kemudian berangkat awal (ke mesjid), maka seakan-akan ia bersedekah seekor unta gemuk. Barang siapa berangkat pada waktu kedua, maka ia seakan-akan ia bersedekah seekor sapi. Barang siapa berangkat pada waktu ketiga, maka seakan-akan ia bersedekah seekor kambing bertanduk.Barang siapa yang berangkat pada waktu keempat, maka seakan-akan ia bersedekah seekor ayam. Dan barang siapa berangkat pada waktu kelima, maka seakan-akan ia bersedekah sebutir telur. Dan bila imam telah naik mimbar (untuk berkhutbah), maka para malaikat hadir untuk mendengarkan zikir. (Maksudnya mereka para malaikat tidak lagi mencatat orang yang datang ke mesjid setelah khutbah dimulai)". [SHAHIH. HR. Muslim No.1403]

Untuk pembagian keutamaan waktu tsb, dalam pembahasan kitab "Duror Al Bahiyyah" oleh ustadz Abdul Bar menyebutkan terbit fajar sampai adzan jum'at kemudian dibagi lima (unta, sapi, kambing, ayam, telur). Wallahu a'lam.

Adapun tentang shalat sunnat mutlak Ketika Menunggu Imam atau Khatib jum'at (Shalat Intizhor), dalilnya adalah :
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu menuturkan bahwa Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, "Barang siapa mandi kemudian datang untuk sholat Jumat, lalu ia sholat semampunya dan dia diam mendengarkan khotbah hingga selesai, kemudian sholat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai jum'at ini sampai jum'at berikutnya ditambah tiga hari". [SHAHIH. HR. Muslim].

Hadits yang maknanya sama juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan An Nasaa-i (lihat Shahih Targhib wat Tarhib, Syaikh Albani II/688 & 689 -6,7a)

Kemudian Imam Syafi'i berkata,"Mengabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Tsa’labah bin Abi Malik, bahwa dia mengabarkan kepadanya (Ibnu Syihab),
“Bahwasanya mereka di zaman ‘Umar bin al-Khaththab bila hari Jum’at selalu melakukan shalat (sunnah Intizhor) hingga ‘Umar bin al-Khaththab keluar (memasuki masjid). Apabila dia telah muncul dan duduk di atas mimbar serta muadzin mengumandangkan adzan, mereka (hadirin) duduk dan berbincang-bincang. Tetapi jika muadzin selesai adzan dan ‘Umar berdiri, maka mereka diam, tidak ada seorangpun yang berbicara." [Riwayat Asy-Syafi'iy, Musnad hal.63. Sanadnya SHAH, menurut Syaikh Masyhur Hasan Hafizhahullah].

Meriwayatkan juga :
Imam Malik, dalam Al-Muwaththa' no.233; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra no.5475 (3/192), As-Sunan Ash-Shughro no.656 hal.386.

Wallahu ta'ala a'lam....
_______________________

Sumber: http://www.abuayaz.co.cc/2010/05/keutamaan-dan-amalan2-pada-hari-jumat.html

Senin, 31 Januari 2011

Belajar Dari Burung Hud-Hud

burungUmat Islam patut bersyukur karena ajaran dan agama yang dianutnya adalah agama yang telah diridhai oleh Allah Taala.
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْأِسْلامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Ali Imran:19)
Islam adalah agama para nabi dan umat-umat terdahulu ketika mereka masih lurus menjalankan agama mereka sesuai dengan perintah rasul dan nabi mereka. 2:132-133,136; 3:52,64,84; 5:111. Karena itu, umat Islam kaya akan kisah dan pelajaran dari umat-umat terdahulu. Kisah yang dialami oleh saudaranya seiman dalam menegakkan tauhid dan memakmurkan bumi. Kisah dan kejadian yang dialami umat terdahulu dapat kita lihat pada kalamullah untuk diambil ibrah dan dars. Pengkisahan merupakan salah satu uslub dari asalib quraniyah fi tarbiyatil ummah.
Beberapa kisah dapat kita jumpai pada sabda Rasulullah saw. yang kebenarannya sudah dijamin Allah Taala.
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm:3-4)
Ditambah lagi bahwa umat Islam memiliki contoh beberapa generasi beliau yang kaya akan rawai’ imaniyah wa ukhawiyah. Hal ini telah oleh legitimasi dengan firman-Nya, Al-Fath: 29, At-Taubah: 100, Al-Hasyr: 8
حَدِيثُ عِمْرَان بنِ حُصَّينِ: إِنَّ خَيرَكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الذِينَ يَلُونَهُم ثُمَّ الذِينَ يَلُونَهُم ثُمَّ الذِينَ يَلُونَهُم – ثُمَّ قَالَ عِمْرَان: فَلاَ أَدْرِي أَقَالَ رَسُولُ الله صَلىَّ اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ قَرْنِهِ مَرَتَينِ أَوْ ثَلاَثاً
Dari ‘Imran bin Hushain r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah abadku (para sahabat), kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka. Kemudian Imran berkata, “Aku tidak tahu apakah Rasulullah saw. mengatakan setelah mereka itu dua kali atau tiga kali.”
Yaitu pada masa Rasulullah saw. dan shahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. Tetapi kita masih juga memiliki banyak pelajaran dari generasi-generasi setelah mereka.
عَنْ عِمْرَان بنِ حُصَّين قَالَ قَالَ رَسُولُ الله صَلىَّ اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: لاَ تَزَالُ طَائِفَةُ مِنْ أُمَّتيِ ظَاهِرِينَ عَلىَ اْلحَقِّ حَتىَّ تَقُومَ السَّاعَةُ
Dari ‘Imran bin Hushain, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Senantiasa ada segolongan umatku yang tegak pada kebenaran sampai datang hari kiamat.”
Di antara kisah dan kejadian unik yang ditayangkan dalam Alquran adalah kisah burung Hud-hud dengan nabi Sulaiman a.s. Seekor burung hud-hud yang melakukan kerja dakwah tanpa ada perintah terlebih dahulu. Ia mengintai suatu aktivitas suatu kaum yang dengan sebab kabar itulah, segolongan umat mendapat hidayah Allah, masuk ke dalam agama Islam.
وَتَفَقَّدَ الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لاَ أَرَى الْهُدْهُدَ أَمْ كَانَ مِنَ الْغَائِبِينَ. لَأُعَذِّبَنَّهُ عَذَاباً شَدِيداً أَوْ لَأَذْبَحَنَّهُ أَوْ لَيَأْتِيَنِّي بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ. فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطْتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَأٍ بِنَبَأٍ يَقِينٍ. إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
“Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata, “Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang.”Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata, “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (An-Naml:22-23)
Tindakan burung Hud-hud janganlah dijadikan dalil untuk tasayyub (lepas kontrol), tetapi harus dipahami dengan positif bahwa yang dilakukan burung Hud-hud merupakan tindakan memanfaatkan furshah untuk menjalankan misi dakwah. Dakwah yang diawali dengan mengetahui keadaan spiritual mereka.
Burung Hu-hud tidak keluar dari tujuan jamaah dan sarananya, juga tidak melanggar prinsip-prinsip umum atau mengabaikan perintah lainnya yang lebih utama, tetapi kisah tersebut menunjukkan bahwa pada diri prajurit terdapat ciri yaqzhah (selalu sadar akan misi), diqqah (teliti) dalam beramal dan semangat untuk menyadarkan kaum. Juga menunjukkan bahwa pada diri pemimpin terdapat sifat atau sikap kontrol, ketegasan pemimpin dan penyelesaian yang tidak sembrono.
Kecerdasan dan kecemerlangan berfikir burung Hud-hud tersebut telah ia manfaatkan untuk mengambil kesempatan untuk mencari berita dan kabar suatu kaum karena ia berkeinginan untuk menyampaikan risalah Islam kepada mereka, mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah diserta dengan tindakan yang bijak, presentasi yang gemilang serta keberanian dalam mengemukakan uzur.
Kisah ini banyak mengandung pelajaran untuk para dai dan para mas-ul atau murabbi, di antaranya:
1. Seorang dai tentu lebih mulia dari seekor burung Hud-hud yang memiliki inisiatif positif dan mencari-cari kebaikan. Seorang dai lagi mukmin lebih terpanggil untuk berinisiatif dan melakukan perbuatan baik tanpa harus meninggu perintah.
2. Memandang kepada para pemimping dakwah bahwa tidak seluruh rencana dan program dapat dikerjakan dan dapat dimutabaahi, karena itu pengarahan terhadap semua perintah dan kebijakan adalah lebih diutamakan. Kita dapat menyimak bahwa Nabi Sulaiman a.s. yang dikuatkan dengan wahyu Allah dan ditundukkan untuknya jinn dan burung-burung tidak mampu mengetahui semua perkara dan tidak mampu menyerap semua informasi. Karenanya ia memerlukan sedikit informasi dari burung yang kecil yang secara positif merupakan masukan besar bagi dakwah.
3. Dari kisah tersebut kita menyaksikan pengecekkan atas keterlambatan burung Hud-hud. Dengan sikap ijabiyah (positif) yang dikembangkan burung Hud-hud, maka alasannya itu diterima. Di lain pihak, قَالَ سَنَنْظُرُ أَصَدَقْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (النمل:27) (Sulaiman berkata, “Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta.) menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus menerima alasan keterlambatan tersebut dan membatalkan hukuman yang telah ia janjikan karena alasan burung itu. Alasan burung Hud-hud tersebut mengandung ihtimal benar dan dusta.
Tetapi kenyataannya adalah bahwa yang dikabarkan oleh burung hud-hud adalah benar dan dari kabar itulah nabi Sulaiman a.s. kemudian menyerukan untuk berjihad.
4. Dari kisah tersebut kita dapat melihat adanya i’tidzar lil qa-id fi ada-il wajib. Jika kita jadikan kisah ini sebagai amal ijabi, maka kita akan melihat bahwa dalam ma’dzirah dan i’tidzar terdapat sesuatu yang berharga, ketika pengetahuan burung Hud-hud memberikan manfaat kepada pemimpin, nabi Sulaiman yang mempunyai segala jenis kekuatan. Bahkan burung Hud-hud tersebut menyampaikan dengan ta’bir naba yaqin (berita penting dan besar yang diyakini kebenarannya), suatu jenis kekuatan yang dimiliki burung Hud-hud ketika menyampaikan alasan keterlambatannya di hapapan kekuasaan nabi Sulaiman yang telah berniat akan menyiksa dengan siksaan yang pedih atau ia akan menyembelihnya.
Suatu kekuatan yang dimiliki burung Hud-hud yang digunakan secara positif untuk taat kepada pemimpin, kekuatan ilmu pengetahuan. Sehingga ia selamat dari hukuman berupa siksaan dan penyembelihan dengan ilmu pengetahuan.
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطْتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَأٍ بِنَبَأٍ يَقِينٍ
“Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata, “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.” (An-Naml: 22)
Keberanian burung Hud-hud untuk berbicara kepada nabi Sulaiman a.s. karena kabar yang dibawa burung Hud-hud merupakan kabar penting dan nabi Sulaiman a.s. belum mempunyai kabar tersebut. Kalaulah ia terlambat tanpa ada hal yang akan ia sampaikan, maka dengan kelemahannya dari segala hal, maka ia tidak akan mampu untuk berbicara dari lantang di hadapan pemimpinnya.
Kalaulah bukan karena ijabiyah burung Hud-hud, maka uzur dan alasan burung Hud-hud pasti tidak akan diterima, karena keintisaban kita kepada jamaah menuntut kita untuk melaksanakan amal dan kerja sebaik mungkin dalam kerangka mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Tidak menjadi keharusan seorang dai atau bawahan atau binaan atau anggota jamaah melaksanakan perintah saja, tetapi amal dan kerja yang dilakukan harus ijabi atau memiliki bobot yang memadai untuk tercapainya tujuan dakwah dan tarbiyah.
5. Kita sebagai dai dapat menyimpulkan sebagai pelajaran buat kita bahwa hudhur yang dapat menyelamatkan kita dari uzur kita di hadapan qaid, mas-ul, naqib atau murabbi adalah hudhur da’wi tarbawi. Sejalan dengan semangat kita untuk meningkatkan mutu diri dan memperbanyak kader baru dengan segala jenis tajnid, maka kita dituntut untuk selalu hadhir secara da’wiyan dan tarbawiyan, bukan hanya kehadiran di jilsah atau di halaqah atau di usrah atau di ijtima’. Kita seharusnya selalu hadir dalam segala aktivitas da’wah dan tarbiyah. Boleh jadi seseorang tidak pernah absen untuk hadir di setiap pertemuan, akan tetapi keikutsertaannya di setiap aktivitas sangatlah minim atau ia sendiri tidak ada inisiatif positif untuk melakukan aktivitas da’wah dan tarbiyah. Karenanya di antara ijabiyah seorang pemimpin, mas-ul, naqib atau murabbi adalah memperhatikan dan mengontrol a’dha dan binaannya agar kehadirannya dalam da’wah dan tarbiyah tidak pernah absen. Karena itu kalaupun ia uzur untuk hadir di ijtima’, atau di usrah atau di halaqah karena alasan syar’i, maka tidak serta merta disimpulkan sebagai ketidakhadirannya dalam da’wah, sebelum dilihat kehadirannya pada aktivitas da’wah dan tarbiyah lainnya.
6. Untuk para mas-ulin dan qiyadiyyin juga dapat mengambil beberapa pelajaran yang dapat dicermati dan diperhatikan dari sikap dan respon Nabi Sulaiman terhadap kerja burung Hud-hud. Di antara pelajaran yang dapat kita ambil dari sikap Nabi Sulaiman a.s. adalah:
a. Tafaqqudul amiir lil atba’ (rasa kehilangan seorang pemimpin terhadap pengikutnya). Seorang mas-ul harus memperhatikan siapa yang tidak hadir dalam setiap pertemuan dan kegiatan. Karena perhatiannya terhadap kehadiran binaannya merupakan bagian dari mas-uliyah yang harus diemban. Nabi Sulaiman a.s. mempertanyakan ketidakhadiran burung Hud-hud dalam ijtima’
b. Akhdzul amri bil hazm (sangat perhatian terhadap perkara). Seorang pemimpin harus memiliki haibah di hadapan atba’nya dengan menyatakan sikap tegasnya di hadapan pengikutnya.
c. Muhasabah (evaluasi). Seorang mas-ul harus berinisiatif untuk mengevaluasi proses tarbiyah dan hasil perjalanan tarbiyah yang ia lakukan.
d. Tabayyunul ‘udzr (klarifikasi uzur). Mengklarifikasi alasan keuzuran binaan agar penyikapan dan perlakukan yang akan diambil lebih berdampak positif.
7. Dengan kerja yang kelihatannya kecil, hanya sekadar mengetahui keadaan dan kondisi keagamaan suatu kaum, dapat menghasilkan prestasi besar, yaitu keislaman Ratu dan rakyatnya, tunduk untuk beribadah kepada Allah bersama nabi Sulaiman a.s.
Karena itu pula dalam dunia peradaban materi kita melihat banyak karya dan hasil penemuan besar awalnya dirintis oleh kerja dan inisiatif satu orang. Hasil kerja seorang ini kemudian didukung dan didanai oleh kelompok atau negara. Seperti penemuan sepeda, lalu mesin cetak, telegraf, bola lampu dan lain-lain. Demikan pula dalam medan dakwah, banyak yang awalnya merupakan terobosan pribadi kemudian menjadi garapan jamaah.
Jadi dengan sikap ijabiyah seorang dai, akan banyak amal Islam yang dapat dihasilkan seiring dengan hasil yang gemilang. Di antaranya adalah dengan merasa kurang di hadapan Allah dalam menjalankan semua kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka akan muncul rasa pada diri seorang mukmin untuk berusaha mengerjakan satu kewajiban dengan sebaik-baiknya dan dengan niat yang lurus. Dengan demikian ia telah mengerti maksud dari taklif Allah, yaitu agar manusia berusaha membaguskan amalnya dengan cara meluruskan niat dan menyesuaikan segala perbuatan dan ibadahnya sesuai dengan syariat.
Dalam hal ini, para ulama memberikan dua syarat suatu perbuatan dikatakan amal shaleh. Syarat pertama adalah muwafaqah lis syar’i (sesuai dengan tuntanan syariat Islam) dan yang kedua adalah ikhlash liwajhillah wahdah (semata-mata dilakukan karena mengharapkan ridha Allah).
Di antara sikap ijabiyah adalah tidak meremehkan perkara kecil, karena seringkali sesuatu yang besar menjadi kecil nilainya karena niat yang kurang ikhlas dan kadang beberapa kalimat akan mendatangkan kebaikan yang banyak karena niat dan keluar dari hati yang tulus. Pernah seorang ulama ditanya, “Sampai kapan Anda terus menulis hadits? Lalu ia menjawab, “Mungkin kalimat yang akan menyelamatkanku masih belum aku tulis.”
Untuk menunjukkan betapa perkara ringan itu tidak boleh dianggap ringan, Rasulullah saw. menegaskan bahwa banyak perkara ringan atau sepele, tetapi di sisi Allah mempunyai bobot pahala dan kebaikan bagi yang melakukannya.
عن أَبِي ذَرّ قالَ قالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: تَبَسّمُكَ في وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَأَمْرُكَ بِالمَعْروفِ ونهيُكَ عن المُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وإِرْشَادُكَ الرّجُلَ في أَرْضِ الضّلاَلِ لَكَ صَدَقَةٌ، وبَصَرُكَ لِلرّجُلِ الرّدِيءِ البَصَرِ لَكَ صَدَقَةٌ، وإِمَاطَتُكَ الْحَجَرَ والشّوْكَ والعَظْمَ عن الطّرِيقِ لَكَ صَدَقَةٌ، وإِفْرَاغُكَ مِنْ دَلْوِكَ في دَلْوِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَة
Dari Abu Dzar r.a. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu, perintahmu mengerjakan kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah sedekah bagimu, kamu menunjuki orang yang tersesat juga merupakan sedekah bagimu, membantu orang yang kurang penglihatannya juga merupakan sedekah bagimu, menyingkirkan batu, duri dan tulang dari jalan juga merupakan sedekah bagimu, kamu menuangkan air dari timbamu ke timba saudaramu juga merupakan sedekah bagimu.” (H.R. Bukhari dan Tirmidzi)
Allah juga berfirman dalam surah Az-Zalzalah ayat 7-8,
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ. وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.” (Az-Zalzalah: 7-8)
Bagi dai kata-kata ma’tsur tersebut dapat menjadi motivator untuk tidak menganggap remeh amal dan aktivitas kecil atau kata-kata nasihat dalam dakwah. Karena itu janganlah kikir untuk mengajak bicara keluarganya atau bercakap-cakap dengan anak-anak atau memberikan senyuman kepada tetangga atau memberi nasihat dan bimbingan kepada teman kerja atau dia mendengarkan bacaan Alquran. Semua itu dapat dilakukan dai jika dirinya memiliki ijabiyah.
Dalam konteks amar ma’ruf nahyi munkar, maka kita akan menemukan medan dan lapangannya yang cukup luas dan lebar. Di mana kita akan menemukan setiap hari fenomena atau suasana kemungkaran yang mesti kita hilangkan dari masyarakat. Maka dengan kata-kata yang bijak kita dapat menuliskan keprihatinan kita atau analisa kritis kita di meda cetak.
Atau sekadar mendukung artikel bagus yang mengangkat permasalahan yang sedang kita cermati. Atau mungkin dengan mengirimkan surat ke pejabat atau wakil kita di DPR pusat maupun daerah. Yang penting dalam diri seorang dai adalah keinginan dan kemauan untuk mengadakan perubahan ke arah positif dengan cara yang dapat ia tempuh sebatas otoritas yang ia miliki. Karena itu keberadaan kita pada posisi yang memiliki otoritas yang luas dan besar akan membantu dan mengefektifkan usahan dakwah dalam perbaikan masyarakat.
Meskipun dengan menjadi ketua RT atau RW kita dapat lebih maksimal dan efektif untuk membuat perubahan di lingkungan sekitar tempat tinggal kita, kenapa kita tidak lakukan? Kenapa kita tidak peduli dengan hal ini, sehingga membiarkan posisi itu dipegang atau berada pada orang yang pemahaman perubahan islamnya masih minim.
Atau posisi struktural di tempat pekerjaan yang menyebabkan kita memiliki otoritas terhadap bawahan kita, maka merupakan suatu bekal dan modal untuk menjadi bagian dari anashir taghyir di tempat tersebut. taghyir yang mengarah kepada model dan prilaku Islam.
Atau bahkan bagi mereka yang kerap mengadakan perjalanan ke daerah atau pelosok dan menemukan informasi obyektif, kemudian informasi tersebut dapat menjadi pintu untuk proyek dakwah yang lebih efektif, maka itu juga bagian dari ijabiyah yang diperankan oleh seorang dai.
Karena di era dakwah yang sudah mulai agak terbuka ini keperluan kita akan informasi obyektif terhadap keadaan dan kondisi suatu daerah atau suatu kelompok orang (segmen tertentu).