Senin, 31 Januari 2011

Agung Danarto: "Jangan Hanya Kesalehan Individual"

Malang- Dr. Agung Danarto, seketaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah didampingi, Dr. Muhadjir Effendy, MAP saat berkesempatan memberi ceramah di hadapan seluruh dosen dan karyawan UMM. Untuk kali yang pertama, Seketaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Dr. Agung Danarto berkesempatan memberi ceramah di hadapan seluruh dosen dan karyawan UMM di ruang teater UMM Dome, Jumat (21/01/2011). Agung didampingi rektor, Dr. Muhadjir Effendy, MAP, berbicara mengenai beramal melalui wadah Muhammadiyah.
Rektor mengingatkan agar warga Muhammadiyah tidak terlampau fanatik hingga menjadikan Muhammadiyah sebagai agama. Menurutnya, Muhammadiyah adalah pilihan cara ber-amar ma’ruf nahi munkar. “Ini adalah cara untuk berhikmat melalui Muhammadiyah. Tapi yang terpenting adalah harus Islam dulu baru ber-Muhammadiyah,” kata Muhadjir memulai acara.
Sementara itu Agung memberikan apresiasi kepada kekhusukan para dosen dan karyawan UMM dalam bekerja. Menurutnya, kinerja para dosen dan karyawan itu hampir sama dengan berjihad karena telah mampu berdakwa dan menghantarkan UMM menjadi PTM terbaik di Indonesia.
Mengutip Q.S An-Nisa ayat 59, Agung menyerukan agar kita kembali merujuk pada Al-Quran dan As-Sunah. Umat Islam harus beriman kepada Allah dan Ulul Amri, yang artinya meyakini kebenaran Al-Quran sebagai wahyu-Nya, dan Hadits yang dibawakan oleh  Rosul Muhammad SAW.
“Ulul Amri juga bisa berarti mereka yang memegang urusan. Kalau di UMM ya rektor ini yang dijadikan panutan,” kata Agung menyontohkan.
Namun demikian, ada praktik beragama yang menggunakan sumber lain di luar Al-Quran dan Hadits. Sumber tradisi itu digunakan sesuai dengan zamannya sehingga boleh ditinggalkan. Semua kelompok umat di Indonesia mengaku bersumber pada Al-Quran dan Hadits, tetapi dalam praktiknya ternyata berbeda-beda. “Misalnya, pada Muhammadiyah, pengajar boleh primer asal dapat dipertanggung jawabkan. Tapi kalau di LDII pengajaran harus melalui orang–orang yang memiliki silsilah dengan nabi Muhammad,” ujarnya menyontohkan.
Demikian juga antara Muhammadiyah dengan NU. Di NU, pengajarannya diakses melalui media para ulama. Hal itu berkaitan dengan sejarah Islamisasi di Indonesia, yaitu Islam tasawuf atau syarikat yang bisa dialkulturasi dengan Hindu–Budha. “Ini berbeda dengan Muhammadiyah, dimana akultrasi budaya lokal yang tidak ketemu dalam tradisi nabi, maka Muhammadiyah tidak mengembangkannya,” lanjut Agung.
Lebih lanjut, Agung menguraikan, Muhammadiyah memahami akal dan pikiran, tapi tidak membebaskan akal karena harus dijiwai dengan nilai–nilai ajaran Islam. Dicontohkannya, perbedaan antara Muhammadiyah dan NU dalam menentukan jatuhnya bulan Ramadhan dan Syawal, pada tradisi NU, hal itu dipahami sebagai ta’abudi atau bagian dari ibadah, sedangkan pada Muhammadiyah dianggap sebagai sesuatu yang bisa dinalar.
Dalam hal lainnya, disebutkan pula seruan memelihara jenggot yang didukung oleh hadits yang sahih tapi tidak banyak diikuti para anggota Muhammadiyah. Syalafiah mengganggap memelihara jenggot adalah sebuah kewajiban yang digunakan sebagai identitas. Memang benar dikatakannya hal tersebut diperintahkan nabi, tetapi saat itu digunakan sebagai pembeda dengan orang musryik.
Disimpulkannya, Islam sebagai agama yang membawa kesejahteraan umat manusia di segala zaman dan tempat yang bersifat universal. “Kalau kita copy paste semua yang dilakukan nabi maka terjadi primitifisme dan Arabisasi karena merujuk pada abad ketujuh yang sudah out of date,” tandas Agung. Muhammadiyah harus menjadi ajaran yang kaffah pada bidang semua bidang seperti ekonomi, pendidikan dan sosial dan tidak berfokus pada ibadah dan kesalehan individual saja. (rwp/nas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar